UNDANG-UNDANG AGRARIA BAGI
INDONESIA DAN DUNIA
DI
SUSUN OLEH :
RATIH ANDRIANI
SANTONIUS SILABAN
SEJARAH DIK B REGULER 2017
DOSEN PENGAMPU : Dr. Rosmaida Sinaga
M.Hum
MATA
KULIAH : SEJARAH INDONESIA PERIODE BANGSA BARAT
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dengan hati dan
pikiran yang jernih kami persembahkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik
dan hidayah-Nya, kita masih diberi nikmat iman dan sehat wal’afiat.
Shalawat dan salam semoga tercurah
limpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa
umat menuju jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat melalui serangkaian dakwah
dan pendidikan yang dilakukannya tanpa mengenal lelah.
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi
Tugas Kelompok pada Mata Kuliah Sejarah Indonesia Periode Bangsa Barat, diharapkan makalah ini
dapat menambah wawasan kita mengenai Perkembangan Undang-undang Agraria bagi
Indonesia dan Dunia.
Demikian makalah ini kami buat, apabila para pembaca menemukan
kekurangan dan kesalahan dalam penulisan harap di maklumi karena kami masih
dalam tahap belajar.
Kami
ucapkan terima kasih, jazaakumullaahu khairan katsiiraan.
Medan, 2018
Penyusun,
Kelompok
7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG.............................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN.................................................................................................. 3
A. HUKUM
AGRARIA KOLONIAL......................................................... 3
1).
Pada masa terbentuknya
VOC (Verenigde Oost
Indische
Compagnie)........................................................................... 3
2).
Pada masa Pemerintah Gubernur Herman Willem Deandles
(1800-1811)............................................................................................ 4
3).
Pada masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford
Raffles (1811-1816)............................................................................... 5
4). Pada masa Pemerintahan Gubernur
Johanes Van den Bosch........ 5
5). Pada masa berlakunya Agrarische
Wet Stb. 1870 No. 55................ 5
6). Pada masa berlakunya Agrarische
Besluit Stb. 1870 No.118........... 6
B.
POLITIK AGRARIA KOLONIAL........................................................ 9
BAB III
PENUTUP........................................................................................................... 13
A. KESIMPULAN......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Sepanjang perjalanan sejarah manusia
dari pola hidup yang paling sederhana hingga kehidupan yang modern, tanah
sering merupakan penyebab terjadinya konflik antar golongan yang satu dengan
lainnya yang berbeda persepsi dan kepentingan. Dalam konteks kehidupan dunia
modern, tampaknya ada dua hal yang kerapkali menjadi pemicu lahirnya konflik
antara penguasa (pemerintah) dengan rakyat dalam hal kepemilikan tanah:
Pertama, perbedaan persepsi mengenai konsep penguasaan dan pemanfaatan tanah.
Pemerintah di satu sisi dengan berbagai program pembangunannya ber-anggapan
bahwa bumi (atau tanah), air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara, karena itu mereka berhak melakukan perubahan atas setiap
tanah untuk kepentingan bersama.
Di sisi lain masyarakat terutama yang
masih berhaluan konvensional menganggap bahwa tanah merupakan hak milik dan
alat produksi, sehingga wajar jika mereka rela mempertaruhkan nyawanya
sekalipun demi mempertahan-kan tanah miliknya tersebut. Kedua, menyangkut perbedaan
kepentingan antara penguasa (ekonomi dan politik) dengan rakyat. Penguasa atau
pemerintah menganggap bahwa tanah merupakan sarana untuk mencapai tujuan
pembangunan. Sebaliknya rakyat (atau petani) memiliki persepsi bahwa tanah
adalah segala sesuatu yang diusahakan untuk kehidupan mereka. Hidup dan matinya
keluarga mereka sedikit banyak ditentukan oleh tanah tersebut, demikian pula
masa depan generasi mereka tergantung pada tanah yang dimilikinya.
Perbedaan persepsi dan kepenting-an
mengenai kepemilikan tanah antara penguasa (pemerintah) dan rakyat (petani),
kelihatannya mewarnai dan memberikan suatu corak khas bagi lembaran sejarah
Indonesia khususnya sektor agraria. Fenomena sosial seperti itu tampak sejak
masa VOC dan tanam paksa (cultuur stelsel) hingga masa pemerintahan orde baru,
bahkan masa sekarang ini masih tetap menggejala meski dalam wujud yang berbeda.
Men-cermati fenomena konflik kepentingan antara penguasa dengan rakyat dengan
menggunakan hampiran teori sosial dan ekonomi, akan diperoleh suatu ke-terangan
bahwa masalah agraria tersebut merupakan hal yang wajar. Produksi subsistensi
adalah aktivitas ekonomi yang tidak berorientasi komersil tetapi bernilai
konsumsi pribadi (keluarga).
Istilah agraria berasal dari kata
akker (bahasa belanda), agros (bahasa yunani) yang berarti tanah pertanian. Menurut Soedikno
Martokusumo, hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria. Pada masa kolonial Belanda adanya hukum dan
politik agraria yaitu:
1. Hukum Agraria Kolonial
Hukum agraria ini berlaku sebelum
indonesia merdeka
bahkan berlaku sebelum di undangkannya UUPA
2. Politik Agraria Kolonial
Yang dimaksud politik agraria disini adalah kebijaksanaan
agraria. Politik agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh
negara dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan,
mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk
hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan negara, yang bagi negara
Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM
AGRARIA KOLONIAL
Dari segi masa berlakunya, hukum
agraria di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu:
1.
Hukum Agraria Kolonial
Hukum agraria ini berlaku sebelum
indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960.
2.
Hukum Agraria Nasional
Hukum agraria ini berlakunya setelah diundangkannya UUPA,
yaitu tanggal 24 September 1960.
Hukum Agraria Kolonial mempunyai 3
ciri yang dimuat dalam konsideran UUPA dibawah perkataan “menimbang” huruf b,
c, dan d serta dimuat dalam penjelasan umum angka I UUPA, yaitu:
a. Hukum agraria yang masih berlaku saat ini sebagian
tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan
sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan
negara didalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan
semesta.
b. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dulisme, dengan
berlakunya hukum adat, disamping hukum agraria yang didasarkan atas hukum
barat.
c. Bagi rakyan asli hukum agraria penjajahan itu tidak
menjamin kepastian hukum.
Beberapa
ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum dan kebijaksanaan agraria yang berlaku
sebelum indonesia merdeka disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi
pemerintahan hindia belanda, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)
Pada masa terbentuknya VOC
(Verenigde Oost Indische Compagnie)
Beberapa kebijaksanaan politik
pertanian yang sangat menindas rakyat indonesia yang telah ditetapkan oleh VOC,
antara lain:
a. Contingenten
Pajak atas hasil tanah pertanian
harus diserahkan kepada penguasa kolonial. Petani harus menyerahkan sebagian
dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
b. Verplichte leveranten
Suatu bentuk ketentuan yang
diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh
hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara
sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat
apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
c. Roerendiensten
Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan
kepada rakyat indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
2)
Pada masa Pemerintah
Gubernur Herman Willem Deandles (1800-1811)
Kebijaksanaan yang ditentukan oleh
Gubernur ini adalah menjual tanah-tanah rakyat indonesia kepada rakyat cina,
arab maupun bangsa belanda sendiri. Tanah yang dijual tersebut disebut dengan
tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat
dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya adalah adanya
hak-hak kepada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke
rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan misalnya:
a. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta
memberhentikan kepala-kepala kampung/desa,
b. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut
uang pengganti kerja paksa dari penduduk,
c. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang
berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk,
d. Hak untuk mendirikan pasar-pasar,
e. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan
penyeberangan,
f. Hak untuk mengharuskan
penduduk tiga hari sekali memotong rumput bagi keperluan tuan tanah, sehari
dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.
3)
Pada masa Pemerintahan
Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
Kebijakan yang telah ditetapkan oleh
Gubernur Thomas Stamford Raffles adalah landrent atau pajak tanah. Beberapa ketentuan yang
berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada para
petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan oleh kepala desa. Para kepala desa
diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap
petani.
b. Kepala desa diberi kekuasaan penuh untuk mengadakan
perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani.
c. Praktik pajak tanah
menjungkirbalikkan hukum yang mengatur pemilikan tanah rakyat sebagai akibat
besarnya kekuasaan kepala desa.
4)
Pada masa Pemerintahan
Gubernur Johanes Van den Bosch
Pada tahun 1830 Gubernur Johanes Van
den Bosch menetapkan kebijakan pertanahan yang dikenal dengan sistem tanam
paksa atau Cultuur Stelsel.
Dalam sistem
tanam paksa ini, petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang
secara langsung maupun tidak langsung yang dibutuhkan oleh pasar internasional.
Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat
imbalan apapun, sedangkan pada rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian
wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya
atau 66 hari untuk satu tahunnya.
5)
Pada masa berlakunya
Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55
Dengan berlakunya Agrarische Wet,
politik monopoli (politik kolonial konservatif) dihapuskan dan diganti dengan
politik liberal yaitu pemerintah tidak ikut mencampuri dibidang usaha,
pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha dan modelnya
dibidang pertanian di Indonesia.
Agrarische Wet merupakan hasil dari
rancangan Wet (undang-undang) yang
diajukan oleh mentri jajahan de wall. Agrarische Wet di undangkan dalam stb.
1870 No 55, sebagai tambahan ayat-ayat baru pada pasal 62 RR Stb. 1854 No. 2.
Semula RR terdiri dari 3 ayat, dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai
dengan ayat 8) oleh Agrarische Wet, maka pasal 62 RR kemudian menjadi pasal 51
IS, Stb. 1925 No. 447. Isi pasal 51 IS adalah sebagai berikut:
1. Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah.
2. Dalam tanah di atas tidak termasuk tanah-tanah yang
tidak luas, yang diperuntukkan bagi
perluasan kota dan desa serta pembangunan
kegiatan-kegiatan usaha.
3. Gubernur jendral dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan dengan
ordonansi.
4. Menurut ketentuan yang ditetapkan oleh ordonansi,
diberikan tanah dengan hak Erfpacht selama
tidak lebih dari 75 tahun.
5. Gubernur Jendral menjaga jangan sampai terjadi
pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat
pribumi.
6. Gubernur Jendral tidak boleh mengambil tanah-tanah
kepunyaan rakyat asal pembukaan hutan
yang dipergunakan untuk keperluan
sendiri, demikian juga tanah-tanah sebagai tempat
penggembalaan umum atau atas
dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk kepentingan
umum berdasarkan
pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang
diselenggarakan
atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan, semuanya
dengan pemberian ganti kerugian yang layak.
7. Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi
dengan hak pribadi yang turun-temurun
(hak milik adat) atas permintaan
pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya dengan hak
eigendom, dengan
pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan
ordonansi
dan dicantumkan dalam surat eigendomnya, yaitu mengenai kewajibanya terhadap
negara dan desa yang bersangkutan, demikian juga mengenai wewenangnya untuk
menjualnya
kepada bukan pribumi.
8. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi
kepada non pribumi dilakukan
menurut ketentuan yang diatur dengan ordonansi.
6)
Pada masa berlakunya
Agrarische Besluit Stb. 1870 No.118
Ketentuan-ketentuan Agrarische Wet
pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Agrarische
Besluit terdiri atas tiga, yaitu:
a. Pasal 1 - 7 tentang hak atas tanah.
b. Pasal 8 - 8 b tentang pelepasan tanah, dan
c. Pasal 19 – 20 tentang
peraturan campuran.
Hukum agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu dengan
berlakunya hukum agraria yang berdasarkan atas hukum adat, disamping hukum
agraria yang didasarkan atas hukum barat. Sifat dualisme hukum tersebut
meliputi bidang-bidang yaitu:
1. Hukum
Pada saat yang
sama berlaku macam-macam hukum agraria, yaitu hukum agraria barat, hukum
agraria adat, hukum agraria swapraja, hukum agraria administratif, dan hukum
agraria antargolongan.
2. Hak Atas
Tanah
Pada saat yang sama berlaku
macam-macam hak atas tanah yang berbeda hukumnya yaitu:
a. Hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria barat
yang diatur dalam KUH Perdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfecht.
b. Hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria adat
daerah masing-masing yang disebut tanah-tanah hak adat, misalnya tanah yasan,
tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ganjaran, tanah kuburan, tanah
pengembalaan (tanah pangonan).
c. Hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah
swapraja, misalnya Grant Sultan (semacam hak milik adat yang diberikan oleh
pemerintah swapraja kusus bagi kaula swapraja, didaftar di kantor pejabat
swapraja).
d. Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah
hindia belanda, misalnya hak Agrarische Eigendom (tanah milik adat yang
ditundukkan dirinya pada hukum agraria barat).
3. Hak Jaminan Atas Tanah
Beberapa Hak jaminan atas tanah pada
masa berlakunya hukum agraria kolonial, yaitu:
a. Lembaga Hypotheek diperuntukkan bagi hak-hak atas
tanah yang tunduk pada hukumk barat, yaitu hak eigendom, hak opstal, dan hak
erfpecht, yang diatur dalam pasal 1162 sampai dengan pasal 1332 KUH Perdata.
b. Lembaga Credietverband diperuntukkan bagi tanah-tanah
yang tunduk pada hukum adat.
c. Lembaga jonggolan di jawa,
di bali disebut Makantah dan di batak disebut Tahan, dalam hubunganya dengan
utang-piutang dikalangan masyarakat, dimana pihak debitur menyerahkan tanahnya
sebagai jaminan utang kepada kreditur.
4. Pendaftaran Tanah
Berdasarkan Overschrijving
Ordonnantie Stb. 1834 No. 27, pendaftaran tanah dilakukan oleh kantor
pendaftaran tanah atas tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat dan pendaftaran
tanah ini menghasilkan tanda bukti berupa sertifikat yang diberikan kepada
pemegang haknya.
Hukum agraria kolonial bagi rakyat
indonesia asli tidak menjamin kepastian hukum. Tidak adanya jaminan kepastian
hukum dalam bidang hukum agraria bagi rakyat Indonesia asli disebabkan oleh dua
hal yaitu:
1. Dari Segi Perangkat Hukum
Bagi orang-orang yang tunduk pada
hukum barat, perangkat hukumnya
tertulis, yaitu diatur dalam KUH Perdata, sedangkan bagi rakyat
indonesia asli berlaku hukum agraria adat, yang perangkat hukumnya tidak
tertulis, yang terdapat dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang berlaku
sebagai hukum.
2. Dari Segi Pendaftaran Tanah.
Untuk tanah-tanah yang tunduk pada
hukum barat, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfpacth dilakukan
pendaftaran tanah dengan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum dan
menghasilkan tanda bukti yang berupa sertifikat.
B. POLITIK
AGRARIA KOLONIAL
Politik Agraria yang dimaksut disini
adalah kebijaksanaan agraria. Politik agraria adalah garis besar kebijaksanaan
yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukkan,
mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber alam
lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan negara,
yang bagi negara Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dasar Politik Agraria Kolonial
adalah prinsip dagang, yaitu mendapat
hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual
dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuanya adalah tidak lain mencari
keuntungan yang sebesar-besarbya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang
merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha
belanda dan pengusaha eropa. Sebaliknya bagi rakyat indonesia menimbulkan
penderitaan yang sangat mendalam.
Politik agraria kolonial dimuat dalam
Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, yang berisi dua maksud yaitu memberikan
kesempatan kepada perusahaan-perusahaan pertanian swasta untuk berkembang di
dunia hindia belanda, disamping itu melindungi hak-hak rakyat indonesia atas
tanahnya.
Ada dua macam tujuan politik Agraria
kolonial yang di jelmakan dalam Agrarische Wet, yaitu:
1) Tujuan primer
Memberikan kesempatan kepada pihak
swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah pada waktu
yang cukup lama dengan uang sewa (canon) yang murah. Disamping itu untuk
memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa atau mendapat hak pakai
atas tanah langsung dari orang bumi putera, menurut peraturan-peraturan yang
ditetapkan dengan ordonansi. Maksutnya adalah memungkinkan berkembangnya
perusahaan pertanian swasta asing.
2) Tujuan sekunder
Melindungi hak penduduk bumi putera
atas tanahnya, yaitu:
a. Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh
mendesak hak bumi putera,
b. Pemerintah hanya boleh mengambil tanah bumi putera
apabila diperlukan untuk kepentingan umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan
dari pihak atasan dengan memberi ganti rugi,
c. Bumi putera diberi kesempatan mendapat hak atas tanah
yang kuat yaitu hak eigendom bersyarat (agrarische eigendom),
d. Diadakan peraturan
sewa-menyewa antara bumi putera dengan bukan bumi putera.
Dalam perjalanan berlakunya
Agrarische Wet terjadi penyimpangan terhadap tujuan sekundernya, yaitu adanya
penjualan tanah-tanah milik orang bumi putera langsung kepada orang-orang
belanda atau eropa lainnya. Untuk memberikan perlindunga hukum terhadap tanah-tanah
milik orang bumi putera dari pembelian orang-orang belanda atau eropa lainnya,
pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan berupa grond vervreemdingsverbod Stb.
1875 No 179.
Yang dimaksud dengan grond
vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah tidak dapat dipindahkan
oleh orang-orang indonesia asli dan oleh karena itu semua perjanjian yang
bertujuan untuk memindahkan hak tersebut, baik secara langsung maupun tidak
langsung adalah batal karena hukum.
Untuk membedakan tanah yang ada hak-hak penduduk bumi
putera dan tanah yang belum dibuka, maka pemerintah hindia belanda menetapkan
domein negara dibagi menjadi dua macam yaitu:
1. Vrij Landsdomein (tanah negara yang bebas), artinya
diatas tanah tersebut tidak ada hak-hak bumi putera.
2. Onvrij Lansdomein, artinya
diatas tanah tersebut sudah ada hak-hak penduduk bumi putera maupun desa.
Dalam politik agraria kolonial,
pernyataan domein digunakan untuk keperluan:
a. Memberi hak atas tanah seperti yang diatur dalam
Burgerlijk Wetboek.
b. Memberi hak-hak atas tanah menurut hukum adat.
c. Untuk mempertahankan hak
pemerintah karena siapa saja yang mengaku mempunyai hak eigendom harus dapat
membuktikan haknya. Jadi bukan pemerintah yang harus membuktikan hak atas tanah
tersebut.
Menurut Imam Soetiknjo, struktur
agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria apabila:
1. Dipandang dari sudut hukumnya tidak ada kesatuan
hukum.
a. Ada dua macam hukum (dualisme hukum), yaitu hukum barat yang
dibawa dan diberlakukan di hindia belanda (indonesia) oleh pihak penjajah
belanda dan hukum adat penduduk bumi putera,
b. Hukum adat di indonesia itu beraneka warna, agak berbeda di
berbagai daerah (pluralisme) yang dibiarkan terus berlaku selama dianggap tidak
bertentangan dengan politik agraria penjajah,
c. Ada hak ciptaan baru yang
bukan hukum adat tapi juga bukan hukum barat, yaitu hak agraris eigendom.
2. Dilihat dari subjeknya tidak ada kesamaan status
subjek
a. Ada pemegang hak orang bumi putera, ada yang bukan orang bumi
putera yang sistem hukumnya berbeda,
b. Yang bukan orang bumi putera yaitu:
1. Orang asing Bangsa Eropa/Barat.
2. Orang Keturunan Asing.
3. Orang Timur Asing.
3. Dilihat dari yang menguasai/memiliki tanah, tidak ada
keseimbangan dalam hubungan antara manusia dengan tanah.
a. Ada golongan besar manusia (petani) yang tidak mempunyai
tanah atau yang mempunyai tanah yang sangat sempit.
b. Di lain pihak ada golongan
kecil manusia (pengusaha, pengusaha asing, tuan tanah, pemilik tanah
partikelir) yang memiliki/yang menguasai tanah luas.
4. Dilihat dari sudut penggunaan tanah tidak ada
keseimbangan dalam penggunaan tanah.
a. Tanah di jawa dan madura hampir semua sudah
dibuka/diusahakan,
b. Di luar jawa, madura, dan
bali masih ada tanah luas yang belum dibuka/diusahakan.
5. Dilihat dari sudut tertib hukum tidak adatertib hukum.
a. Penjajajah jepang mengambil tanah rakyat atau tanah/rumah
orang asing yang menguasai atau ditangkap, tanpa ambil pusing soal hak yang ada
diatasnya.
b. Rakyat sendiri juga menduduki tanah perkebunan, perkarangan
bahkan rumah orang asing/bekas penjajah yang mengungsi secara tidak sah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masalah agraria di Indonesia
sesungguhnya tidak bermula sejak masa kolonial, akan tetapi jauh sebelum itu
telah banyak persoalan terkait dengan sektor yang maha vital dalam kehidupan
manusia ini. Tulisan ini menitikberatkan kajian pada masa kolonial dimaksudkan
untuk memberi gambaran betapa sebuah kekuasaan politik sangat dominan pengaruhnya
terhadap dunia agraris (sektor pertanian). Akibatnya, kekuasaan Belanda dan
Jepang telah menjadikan rakyat dan tanah Indonesia sebagai tumbal ambisi
kekuasaan.
Meskipun demikian, di balik
porak-porandanya sendi kehidupan ekonomi rakyat karena ulah kaum kolonial, di
sisi lain justru membawa efek positif. Sebut saja kedatangan kaum kolonialis
yang diiringi oleh kehadiran para ahli pertanian, kemudian dianggap sebagai
dasar dan cikal bakal lahirnya modernisasi pertanian (perkebunan) di Indonesia.
Hukum Agraria Kolonial mempunyai 3
ciri yang dimuat dalam konsideran UUPA dibawah perkataan “menimbang” huruf b, c, dan d serta
dimuat dalam penjelasan umum angka I UUPA, yaitu:
a. Hukum agraria yang masih berlaku saat ini sebagian
tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan
sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan
negara didalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan
semesta.
b. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dulisme.
c. Bagi rakyan asli hukum agraria penjajahan itu tidak
menjamin kepastian hukum
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Haswinar. Jurnal Analisis Sosial. Bandung :
Akatiga. 2004
Wiradi, Gunawan. Reforma Agraria perjalanan yang belum
berakhir. Yogyakarta : INSIST press. 2000
Mubyarto, dkk. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan.
Aditya Media. Yogyakarta.1992
Santoso Urip, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah,
Kencana, Jakarta, 2010.