Rabu, 27 November 2019



UNDANG-UNDANG AGRARIA BAGI INDONESIA DAN DUNIA


DI SUSUN OLEH :
RATIH ANDRIANI
MARCELINUS FRANSISKUS. S
SANTONIUS SILABAN

SEJARAH  DIK B REGULER 2017
DOSEN PENGAMPU : Dr. Rosmaida Sinaga M.Hum
MATA KULIAH : SEJARAH INDONESIA PERIODE BANGSA BARAT

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2018



KATA PENGANTAR


Puji dan syukur dengan hati dan pikiran yang jernih kami persembahkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya, kita masih diberi nikmat iman dan sehat wal’afiat.
Shalawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa umat menuju jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat melalui serangkaian dakwah dan pendidikan yang dilakukannya tanpa mengenal lelah.
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi Tugas Kelompok pada Mata Kuliah Sejarah Indonesia Periode Bangsa Barat, diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai Perkembangan Undang-undang Agraria bagi Indonesia dan Dunia.
            Demikian makalah ini kami buat, apabila para pembaca menemukan kekurangan dan kesalahan dalam penulisan harap di maklumi karena kami masih dalam tahap belajar.
            Kami ucapkan terima kasih, jazaakumullaahu khairan katsiiraan.



Medan, 2018

                                                                                                            Penyusun,
                                                                                                            Kelompok 7



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................... 1
A.  LATAR BELAKANG.............................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN.................................................................................................. 3
A. HUKUM AGRARIA KOLONIAL......................................................... 3
1). Pada masa terbentuknya VOC (Verenigde Oost
      Indische Compagnie)........................................................................... 3
2). Pada masa Pemerintah Gubernur Herman Willem Deandles
     (1800-1811)............................................................................................ 4
3). Pada masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford
     Raffles (1811-1816)............................................................................... 5
4). Pada masa Pemerintahan Gubernur Johanes Van den Bosch........ 5
5). Pada masa berlakunya Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55................ 5
6). Pada masa berlakunya Agrarische Besluit Stb. 1870 No.118........... 6
B. POLITIK AGRARIA KOLONIAL........................................................ 9
BAB III
PENUTUP........................................................................................................... 13
A. KESIMPULAN......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 14



BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Sepanjang perjalanan sejarah manusia dari pola hidup yang paling sederhana hingga kehidupan yang modern, tanah sering merupakan penyebab terjadinya konflik antar golongan yang satu dengan lainnya yang berbeda persepsi dan kepentingan. Dalam konteks kehidupan dunia modern, tampaknya ada dua hal yang kerapkali menjadi pemicu lahirnya konflik antara penguasa (pemerintah) dengan rakyat dalam hal kepemilikan tanah: Pertama, perbedaan persepsi mengenai konsep penguasaan dan pemanfaatan tanah. Pemerintah di satu sisi dengan berbagai program pembangunannya ber-anggapan bahwa bumi (atau tanah), air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, karena itu mereka berhak melakukan perubahan atas setiap tanah untuk kepentingan bersama.
Di sisi lain masyarakat terutama yang masih berhaluan konvensional menganggap bahwa tanah merupakan hak milik dan alat produksi, sehingga wajar jika mereka rela mempertaruhkan nyawanya sekalipun demi mempertahan-kan tanah miliknya tersebut. Kedua, menyangkut perbedaan kepentingan antara penguasa (ekonomi dan politik) dengan rakyat. Penguasa atau pemerintah menganggap bahwa tanah merupakan sarana untuk mencapai tujuan pembangunan. Sebaliknya rakyat (atau petani) memiliki persepsi bahwa tanah adalah segala sesuatu yang diusahakan untuk kehidupan mereka. Hidup dan matinya keluarga mereka sedikit banyak ditentukan oleh tanah tersebut, demikian pula masa depan generasi mereka tergantung pada tanah yang dimilikinya.
Perbedaan persepsi dan kepenting-an mengenai kepemilikan tanah antara penguasa (pemerintah) dan rakyat (petani), kelihatannya mewarnai dan memberikan suatu corak khas bagi lembaran sejarah Indonesia khususnya sektor agraria. Fenomena sosial seperti itu tampak sejak masa VOC dan tanam paksa (cultuur stelsel) hingga masa pemerintahan orde baru, bahkan masa sekarang ini masih tetap menggejala meski dalam wujud yang berbeda. Men-cermati fenomena konflik kepentingan antara penguasa dengan rakyat dengan menggunakan hampiran teori sosial dan ekonomi, akan diperoleh suatu ke-terangan bahwa masalah agraria tersebut merupakan hal yang wajar. Produksi subsistensi adalah aktivitas ekonomi yang tidak berorientasi komersil tetapi bernilai konsumsi pribadi (keluarga).
Istilah agraria berasal dari kata akker (bahasa belanda), agros (bahasa yunani) yang berarti tanah pertanian. Menurut Soedikno Martokusumo, hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria. Pada masa kolonial Belanda adanya hukum dan politik agraria yaitu:
1.       Hukum Agraria Kolonial
Hukum agraria ini berlaku sebelum indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum di undangkannya UUPA
2.       Politik Agraria Kolonial
Yang dimaksud  politik agraria disini adalah kebijaksanaan agraria. Politik agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan negara, yang bagi negara Indonesia berdasarkan  Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      HUKUM AGRARIA KOLONIAL
Dari segi masa berlakunya, hukum agraria di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu:
1.             Hukum Agraria Kolonial
Hukum agraria ini berlaku sebelum indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum diundangkannya  UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960.
2.             Hukum Agraria Nasional
Hukum agraria ini berlakunya setelah diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960.
Hukum Agraria Kolonial mempunyai 3 ciri yang dimuat dalam konsideran UUPA dibawah perkataan “menimbang” huruf b, c, dan d serta dimuat dalam penjelasan umum angka I UUPA, yaitu:
a.       Hukum agraria yang masih berlaku saat ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara didalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.
b.       Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dulisme, dengan berlakunya hukum adat, disamping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat.
c.       Bagi rakyan asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum dan kebijaksanaan agraria yang berlaku sebelum indonesia merdeka disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintahan hindia belanda, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)             Pada masa terbentuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat indonesia yang telah ditetapkan oleh VOC, antara lain:
a.       Contingenten
Pajak atas hasil tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial. Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
b.       Verplichte leveranten
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
c.       Roerendiensten
Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
2)             Pada masa Pemerintah Gubernur Herman Willem Deandles (1800-1811)
Kebijaksanaan yang ditentukan oleh Gubernur ini adalah menjual tanah-tanah rakyat indonesia kepada rakyat cina, arab maupun bangsa belanda sendiri. Tanah yang dijual tersebut disebut dengan tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya adalah adanya hak-hak kepada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan misalnya:
a.       Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung/desa,
b.       Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk,
c.       Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk,
d.      Hak untuk mendirikan pasar-pasar,
e.       Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan,
f.       Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput bagi keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.
3)             Pada masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles adalah landrent atau pajak tanah. Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan oleh kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b.       Kepala desa diberi kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani.
c.       Praktik pajak tanah menjungkirbalikkan hukum yang mengatur pemilikan tanah rakyat sebagai akibat besarnya kekuasaan kepala desa.
4)             Pada masa Pemerintahan Gubernur Johanes Van den Bosch
Pada tahun 1830 Gubernur Johanes Van den Bosch menetapkan kebijakan pertanahan yang dikenal dengan sistem tanam paksa atau Cultuur Stelsel.
Dalam sistem tanam paksa ini, petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak langsung yang dibutuhkan oleh pasar internasional. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan pada rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk satu tahunnya.
5)             Pada masa berlakunya Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55
Dengan berlakunya Agrarische Wet, politik monopoli (politik kolonial konservatif) dihapuskan dan diganti dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak ikut mencampuri dibidang usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha dan modelnya dibidang pertanian di Indonesia.
Agrarische Wet merupakan hasil dari rancangan  Wet (undang-undang) yang diajukan oleh mentri jajahan de wall. Agrarische Wet di undangkan dalam stb. 1870 No 55, sebagai tambahan ayat-ayat baru pada pasal 62 RR Stb. 1854 No. 2. Semula RR terdiri dari 3 ayat, dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan ayat 8) oleh Agrarische Wet, maka pasal 62 RR kemudian menjadi pasal 51 IS, Stb. 1925 No. 447. Isi pasal 51 IS adalah sebagai berikut:
1.  Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah.
2.  Dalam tanah di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukkan bagi 
     perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha.
3.  Gubernur jendral dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan 
     ordonansi.
4.  Menurut ketentuan yang ditetapkan oleh ordonansi, diberikan tanah dengan hak Erfpacht selama 
     tidak lebih dari 75 tahun.
5.  Gubernur Jendral menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat 
     pribumi.
6.  Gubernur Jendral tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat asal pembukaan hutan 
     yang dipergunakan untuk keperluan sendiri, demikian juga tanah-tanah sebagai tempat
     penggembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk kepentingan
     umum berdasarkan pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang
    diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan, semuanya
    dengan pemberian ganti kerugian yang layak.
7.  Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pribadi yang turun-temurun 
     (hak milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya dengan hak 
     eigendom, dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan 
     ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya, yaitu mengenai kewajibanya terhadap
     negara dan desa yang bersangkutan, demikian juga mengenai wewenangnya untuk menjualnya
     kepada bukan pribumi.
8. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non pribumi dilakukan 
    menurut ketentuan yang diatur dengan ordonansi.

6)             Pada masa berlakunya Agrarische Besluit Stb. 1870 No.118
Ketentuan-ketentuan Agrarische Wet pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Agrarische Besluit terdiri atas tiga, yaitu:
a.       Pasal 1 - 7 tentang hak atas tanah.
b.       Pasal 8 - 8 b tentang pelepasan tanah, dan
c.       Pasal 19 – 20 tentang peraturan campuran.
Hukum agraria  kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu dengan berlakunya hukum agraria yang berdasarkan atas hukum adat, disamping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat. Sifat dualisme hukum tersebut meliputi bidang-bidang yaitu:
1.       Hukum
Pada saat yang sama berlaku macam-macam hukum agraria, yaitu hukum agraria barat, hukum agraria adat, hukum agraria swapraja, hukum agraria administratif, dan hukum agraria antargolongan.
2.      Hak Atas Tanah
Pada saat yang sama berlaku macam-macam hak atas tanah yang berbeda hukumnya yaitu:
a.       Hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria barat yang diatur dalam KUH Perdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfecht.
b.       Hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria adat daerah masing-masing yang disebut tanah-tanah hak adat, misalnya tanah yasan, tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ganjaran, tanah kuburan, tanah pengembalaan (tanah pangonan).
c.       Hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah swapraja, misalnya Grant Sultan (semacam hak milik adat yang diberikan oleh pemerintah swapraja kusus bagi kaula swapraja, didaftar di kantor pejabat swapraja).
d.      Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah hindia belanda, misalnya hak Agrarische Eigendom (tanah milik adat yang ditundukkan dirinya pada hukum agraria barat).

3.      Hak Jaminan Atas Tanah
Beberapa Hak jaminan atas tanah pada masa berlakunya hukum agraria kolonial, yaitu:
a.       Lembaga Hypotheek diperuntukkan bagi hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukumk barat, yaitu hak eigendom, hak opstal, dan hak erfpecht, yang diatur dalam pasal 1162 sampai dengan pasal 1332 KUH Perdata.
b.       Lembaga Credietverband diperuntukkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat.
c.       Lembaga jonggolan di jawa, di bali disebut Makantah dan di batak disebut Tahan, dalam hubunganya dengan utang-piutang dikalangan masyarakat, dimana pihak debitur menyerahkan tanahnya sebagai jaminan utang kepada kreditur.
4.       Pendaftaran Tanah
Berdasarkan Overschrijving Ordonnantie Stb. 1834 No. 27, pendaftaran tanah dilakukan oleh kantor pendaftaran tanah atas tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat dan pendaftaran tanah ini menghasilkan tanda bukti berupa sertifikat yang diberikan kepada pemegang haknya.
Hukum agraria kolonial bagi rakyat indonesia asli tidak menjamin kepastian hukum. Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam bidang hukum agraria bagi rakyat Indonesia asli disebabkan oleh dua hal yaitu:
1.      Dari Segi Perangkat Hukum
Bagi orang-orang yang tunduk pada hukum barat, perangkat hukumnya  tertulis, yaitu diatur dalam KUH Perdata, sedangkan bagi rakyat indonesia asli berlaku hukum agraria adat, yang perangkat hukumnya tidak tertulis, yang terdapat dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang berlaku sebagai hukum.
2.      Dari Segi Pendaftaran Tanah.
Untuk tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfpacth dilakukan pendaftaran tanah dengan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum dan menghasilkan tanda bukti yang berupa sertifikat.

B.      POLITIK AGRARIA KOLONIAL
Politik Agraria yang dimaksut disini adalah kebijaksanaan agraria. Politik agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan negara, yang bagi negara Indonesia berdasarkan  Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dasar Politik Agraria Kolonial adalah  prinsip dagang, yaitu mendapat hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuanya adalah tidak lain mencari keuntungan yang sebesar-besarbya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha belanda dan pengusaha eropa. Sebaliknya bagi rakyat indonesia menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam.
Politik agraria kolonial dimuat dalam Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, yang berisi dua maksud yaitu memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan pertanian swasta untuk berkembang di dunia hindia belanda, disamping itu melindungi hak-hak rakyat indonesia atas tanahnya.
Ada dua macam tujuan politik Agraria kolonial yang di jelmakan dalam Agrarische Wet, yaitu:
1)      Tujuan primer
Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah pada waktu yang cukup lama dengan uang sewa (canon) yang murah. Disamping itu untuk memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa atau mendapat hak pakai atas tanah langsung dari orang bumi putera, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi. Maksutnya adalah memungkinkan berkembangnya perusahaan pertanian swasta asing.
2)      Tujuan sekunder
Melindungi hak penduduk bumi putera atas tanahnya, yaitu:
a.       Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak bumi putera,
b.       Pemerintah hanya boleh mengambil tanah bumi putera apabila diperlukan untuk kepentingan umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan dari pihak atasan dengan memberi ganti rugi,
c.       Bumi putera diberi kesempatan mendapat hak atas tanah yang kuat yaitu hak eigendom bersyarat (agrarische eigendom),
d.      Diadakan peraturan sewa-menyewa antara bumi putera dengan bukan bumi putera.
Dalam perjalanan berlakunya Agrarische Wet terjadi penyimpangan terhadap tujuan sekundernya, yaitu adanya penjualan tanah-tanah milik orang bumi putera langsung kepada orang-orang belanda atau eropa lainnya. Untuk memberikan perlindunga hukum terhadap tanah-tanah milik orang bumi putera dari pembelian orang-orang belanda atau eropa lainnya, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan berupa grond vervreemdingsverbod Stb. 1875 No 179.
Yang dimaksud dengan grond vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah tidak dapat dipindahkan oleh orang-orang indonesia asli dan oleh karena itu semua perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah batal karena hukum.
Untuk membedakan tanah yang ada hak-hak penduduk bumi putera dan tanah yang belum dibuka, maka pemerintah hindia belanda menetapkan domein negara dibagi menjadi dua macam yaitu:
1.       Vrij Landsdomein (tanah negara yang bebas), artinya diatas tanah tersebut tidak ada hak-hak bumi putera.
2.       Onvrij Lansdomein, artinya diatas tanah tersebut sudah ada hak-hak penduduk bumi putera maupun desa.
Dalam politik agraria kolonial, pernyataan domein digunakan untuk keperluan:
a.       Memberi hak atas tanah seperti yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek.
b.       Memberi hak-hak atas tanah menurut hukum adat.
c.       Untuk mempertahankan hak pemerintah karena siapa saja yang mengaku mempunyai hak eigendom harus dapat membuktikan haknya. Jadi bukan pemerintah yang harus membuktikan hak atas tanah tersebut.
Menurut Imam Soetiknjo, struktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria apabila:
1.       Dipandang dari sudut hukumnya tidak ada kesatuan hukum.
a.  Ada dua macam hukum (dualisme hukum), yaitu hukum barat yang dibawa dan diberlakukan di hindia belanda (indonesia) oleh pihak penjajah belanda dan hukum adat penduduk bumi putera,
b.  Hukum adat di indonesia itu beraneka warna, agak berbeda di berbagai daerah (pluralisme) yang dibiarkan terus berlaku selama dianggap tidak bertentangan dengan politik agraria penjajah,
c.  Ada hak ciptaan baru yang bukan hukum adat tapi juga bukan hukum barat, yaitu hak agraris eigendom.
2.       Dilihat dari subjeknya tidak ada kesamaan status subjek
a.  Ada pemegang hak orang bumi putera, ada yang bukan orang bumi putera yang sistem hukumnya berbeda,
b.  Yang bukan orang bumi putera yaitu:
1.    Orang asing Bangsa Eropa/Barat.
2.    Orang Keturunan Asing.
3.    Orang Timur Asing.
3.       Dilihat dari yang menguasai/memiliki tanah, tidak ada keseimbangan dalam hubungan antara manusia dengan tanah.
a.  Ada golongan besar manusia (petani) yang tidak mempunyai tanah atau yang mempunyai tanah yang sangat sempit.
b.  Di lain pihak ada golongan kecil manusia (pengusaha, pengusaha asing, tuan tanah, pemilik tanah partikelir) yang memiliki/yang menguasai tanah luas.
4.       Dilihat dari sudut penggunaan tanah tidak ada keseimbangan dalam penggunaan tanah.
aTanah di jawa dan madura hampir semua sudah dibuka/diusahakan,
b.  Di luar jawa, madura, dan bali masih ada tanah luas yang belum dibuka/diusahakan.
5.       Dilihat dari sudut tertib hukum tidak adatertib hukum.
a.  Penjajajah jepang mengambil tanah rakyat atau tanah/rumah orang asing yang menguasai atau ditangkap, tanpa ambil pusing soal hak yang ada diatasnya.
b.  Rakyat sendiri juga menduduki tanah perkebunan, perkarangan bahkan rumah orang asing/bekas penjajah yang mengungsi secara tidak sah.


BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Masalah agraria di Indonesia sesungguhnya tidak bermula sejak masa kolonial, akan tetapi jauh sebelum itu telah banyak persoalan terkait dengan sektor yang maha vital dalam kehidupan manusia ini. Tulisan ini menitikberatkan kajian pada masa kolonial dimaksudkan untuk memberi gambaran betapa sebuah kekuasaan politik sangat dominan pengaruhnya terhadap dunia agraris (sektor pertanian). Akibatnya, kekuasaan Belanda dan Jepang telah menjadikan rakyat dan tanah Indonesia sebagai tumbal ambisi kekuasaan.
Meskipun demikian, di balik porak-porandanya sendi kehidupan ekonomi rakyat karena ulah kaum kolonial, di sisi lain justru membawa efek positif. Sebut saja kedatangan kaum kolonialis yang diiringi oleh kehadiran para ahli pertanian, kemudian dianggap sebagai dasar dan cikal bakal lahirnya modernisasi pertanian (perkebunan) di Indonesia.
Hukum Agraria Kolonial mempunyai 3 ciri yang dimuat dalam konsideran UUPA dibawah perkataan menimbang huruf b, c, dan d serta dimuat dalam penjelasan umum angka I UUPA, yaitu:
a.       Hukum agraria yang masih berlaku saat ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara didalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.
b.       Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dulisme.
c.       Bagi rakyan asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum




DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Haswinar. Jurnal Analisis Sosial. Bandung : Akatiga. 2004
Wiradi, Gunawan. Reforma Agraria perjalanan yang belum berakhir. Yogyakarta : INSIST press. 2000
Mubyarto, dkk. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Aditya Media. Yogyakarta.1992
Santoso Urip, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2010.






Tidak ada komentar: