CRITICAL BOOK REPORT
KEBUDAYAAN:
SEBUAH AGENDA
(Dalam
Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya)
DI
SUSUN OLEH :
SASYA
SARENS
RATIH
ANDRIANI
KELAS : B REGULER
DOSEN PENGAMPU :
IKA
PURNAMA SARI S.Pd. M.Si
MATA
KULIAH : ANTROPOLOGI (SEMESTER I)
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga Critical Book Report kami ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih
atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga Tugas Critical Book Report ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
Dan harapan kami semoga Tugas Critical Book Report ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman
kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam laporan kami ini, Oleh karena
itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun,
Ratih
Andriani
Sasya
Sarens
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
IDENTITAS BUKU....................................................................................... 1
PENGANTAR
(Sebuah
Panduan Menuju Inti Buku) Gregor Neonbasu SVD, Ph. D...... 2
PANDANGAN ORANG TIMOR
TERHADAP ALAM SEKITAR
Piet
Manehat SVD, M.A................................................................................ 8
UMA KAKALUK DAN UMA
LULIK
(Museum
Tradisional Rakyat Timor Leste) Dr. Eman Ulu, M.Ed............ 13
PUSAKA KERAMAT NENEK
MOYANG
Gabriel
Atok, SVD, M.Sc.............................................................................. 15
Ringkasan Buku Orang Sakai di Riau......................................................... 18
Kritikan Buku................................................................................................. 24
IDENTITAS
BUKU
·
BUKU
UTAMA
Judul
Buku : KEBUDAYAAN: SEBUAH
AGENDA
(Dalam Bingkai Pulau
Timor dan Sekitarnya)
Nama
Penulis : Gregor Neonbasu
SVD, PhD
Penerbit : PT Gramedia Pustaka
Utama
Tahun
Terbit : 2013
Tebal : 364 halaman
·
BUKU
PEMBANDING
Judul
Buku : Orang Sakai di Riau
Nama
Penulis : Parsudi
Suparlan
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, 1995
Tahun
Terbit : 1995
Tebal : 533
halaman
PENGANTAR
(Sebuah
Panduan Menuju Inti Buku)
Gregor
Neonbasu SVD, Ph. D.
Cikal bakal terbitnya
Kebudayaan: Sebuah Agenda memang telah lama membekas, yakni sekitar dua dekade
yang lalu, mungkin persisnya sekitar tahun 1980-an. Dalam perspektif sejarah,
ini sebuah jangka waktu yang belum terlalu lama karena masih segar dalam
ingatan. Walau demikian, ada seribu satu kisah yang boleh dibilang sangat
panjang, berliku, penuh tantangan yang sering membikin pipi jadi basah kuyup
karena linangan air mata yang segera muncul tanpa diundang sekalipun.
Agenda terbitan yang sedang dirancang
ini membutuhkan strategi refleksi mengenai Timor dan sekitarnya, dalam
perspektif disiplin yang multidimensi untuk menemukan kekayaan yang terpendam
dalam kandungan daerah tersebut dan pulau-pulau sekitar.
Misi
Sebuah Serial Kebudayaan
Kekuatan yang ada pada
kami untuk memulai serial ini adalah semata kecintaan akan butir-butir budaya
yang semakin hari terasa semakin punah. Fenomena yang sering memporakporanda
apresiasi manusia terhadap realitas sosial ini tersebab oleh respek masyarakat
yang kelewat diikat pada modernisme yang seakan merampok seluruh perhatian
masyarakat untuk : (1) di satu pihak tidak saja memuja-muja produk modern,
melainkan juga pada pihak lain (2) memandang rendah dan menilai butir budaya
dan warisan kultur para leluhur sebagai sesuatu yang out of date (ketinggalan
zaman).
Segala yang telah lewat, terlebih
warisan para leluhur, sering dinilai tidak mempunyai arti apa-apa. Paradigma
kehidupan masyarakat sedang bergeser: dari yang tradisional menuju yang lebih
modern. Perhatian manusia berpindah total untuk hanya perduli dengan yang
pragmatik. Karena itu, masa silam dilewatkan begitu saja, kendati dalam konteks
Timor, paradigma dan perwajahan modernismus itu masih dicampuri berbagai unsur
tradisi leluhur yang tidak mudah dilepaskan olehmasyarakat.
Timor
Dalam Sejarah Awal
Fokus yang menjadi titik tuju adalah
seringkas catatan mengenai Timor pada awal mula dengan berpedoman pada
sumber-sumber lisan dan beberapa naskah tulisan.
Tradisi
Lisan dan Mitos
Kata kunci terdapat pada refleksi figure
atau character tertentu yang terselip dalam kisah tradisi lisan mengenai Timor
dengan berpedoman pada mitos-mitos yang dimiliki masyarakat pada daerah atau kawasan tertentu, walau hanya sekadarnya saja. Maksud dari pemaparan tradisi
lisan seperti ini adalah untuk melihat
peta dan kondisi Timor di masa silam berkaitan dengan relasi manusia dengan ekologi, kejadian, dan kebutuhan
manusia sehari-hari.
BAB
1
MENJADI
MANUSIA BERBUDAYA
Tempus mutantur, et nos
mutamur in illid, waktu berubah dan kita (ikut) berubah juga di dalamnya.
Pepatah Latin ini masih aktual hingga kini, di mana kita disadarkan akan
hubungan yang sangat erat antara waktu dan kreativitas manusia.
Media ini akan secara
berkala memberi perspektif baru akan warisan budaya, dengan dua cara pandang
(1) seberapa jauh ciri corak warisan budaya manusia yang masih harus
dipelihara, dan (2) seberapa dalam terjadi integrasi sosial di antara manusia
dalam keseluruhan jejaring sosial dari sebuah kehidupan bersama untuk membentuk
budaya baru dengan memberi nuansa baru pula bagi semua orang dari latar budaya
yang berbeda.
Secara manajerial teks-teks budaya
berupa tradisi-tradisi lisan, yang masih tersimpan di hati masyarakat, akan
menjadi sasaran refleksi media ini.
BAB
2
HARI-HARI
PERTAMA DI PULAU TIMOR
Dr.
David Hicks
Tetum adalah suku yang
tinggal di pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, yang berbatasan dengan Timor
Leste. Dia berada di tengah komunitas yang terbelakang tetapi memiliki dan
menampilkan aneka ragam seni budaya, komunitasnya antara lain: keyakinan,
keagamaan, praktik kekerabatan, sastra, ekologi, bahkan arsitektur rumah dengan
warna yang khas.David Hicks adalah seorang sarjana antropologi yang lahir di
New Port, Gwent, Inggris, pada tanggal 26 Juli 1936. Beliau pernah berdiam dan
bekerja selama 15 bulan dengan bermukim di Kampung Mamulak dan Manehat, yang
bersama-sama membentuk paruhan aristokratis dari kerajaan yang dikenal dengan
nama Caraubato.
Di situlah, David
bersama dengan istrinya meneliti tentang keyakinan yang menjadi dasar ideologi
agama Tetum, mengurai ritus yang mengawali daur kehidupan Orang Tetum, hubungan
antara upacara dan ekologi, dan sejumlah upacara khas lainnya.
Hasilnya, ia menulis sebuah buku yang
berjudul Roh Orang Tetum dan Kekerabatannya, yang diterbitkan akhir bulan
Desember 1985 oleh Penerbit Sinar Harapan terjemahan dari buku aslinya Tetum
Ghost and Kin (Mayfield Publishing Company, 1976).
Hari-Hari
Pertama di Pulau Timor
Timor memikat minat
saya, karena menurut laporan para misionaris terdapat hubungan yang erat antara
kekerabatan dan agama di tengah masyarakat-masyarakat yang ada di pulau itu.
Yang menjadi pikiran
utama waktu itu adalah dua masalah yang selalu harus dipecahkan oleh setiap
pekerja lapangan, bahasa dan tempat tinggal. Kesulitan menyangkut tempat
tinggal ialah bahwa tak seorang pun mengundang saya. Saya akan bekerja di
tengah komunitas, sebagai orang yang sama sekali asing. Bahkan nama dan tempat
komunitas “saya” itu belum saya ketahui.
Dalam perjalanan itulah
kami bersantai, dan tiba di pelabuhan udara Baucau pada hari Rabu tanggal 9
Maret 1966. Kami belum mengetahui waktu itu, tetapi ternyata kami mesti
menghabiskan waktu tiga bulan dahulu, sebelum akhirnya dapat tinggal di
Viqueque.
Perjalanan itu
seharusnya hanya memakan waktu lima setengah jam, tetapi karena kendaraan dua
kali rusak, kempes sebuah ban, dan sopir mendapat kesulitan menyeberangi sungai
Manatuto (rintangan terbesar antara kedua pemukiman itu), kami habiskan waktu
delapan jam. Kami tiba pukul 17.30.
Di Dili kami mengetahui
bahwa satu-satunya rumah yang dapat kami pergunakan di kampung Viqueque adalah
sebuah toko China yang sudah tutup, milik satu perusahaan dagang yang berpusat
di Dili.Dalam perjalanan ke Viqueque, arsitek itu melewati Baucau pada tanggal
2 April dan menginap di penginapan tersebut. Ketika ia bertanya, apakah kami
ingin melihat calon tempat tinggal kami, dan kami menyambut baik. Tetapi ketika
saya melihat toko itu, yang jaraknya 67 km, di Viqueque, ternyata benar-benar
rumah itu membutuhkan perbaikan, sehingga selama dua jam perjalanan pulang itu
saya merasa sengsara.
Obat-obatan, makanan
bayi, pita film, pakaian, dan barang-barang lain tidak mungkin didapat di
Viqueque. Pengelola penginapan dan teman-teman lain dari Baucau dapat membantu
kami memperoleh barang-barang yang lebih sukar dari Australia.
Kami datang di rumah
kami di Viqueque, pada hari Kamis tanggal 2 Juni, sebelum kerja pembetulan
selesai. Begitu menetap, saya mengetahui beberapa hal, misalnya: Kampung
Viqueque adalah pusat geografis untuk kerajaan lain; hampir sebagian besar
penghuni pos berbicara bahasa Tetum. Sekretariat daerah memberikan kepada saya
peta pos dan daftar ke lima puluh kampungnya (yang dikelompokkan dalam sepuluh
kerajaan).
Saya menghendaki
kampung Tetum yang mayoritasnya memeluk keyakinan tradional mereka. Katanya
jumlah kampung seperti itu sedikit, tetapi satu dua ada di kerajaan Tetum yang
paling jauh, Bibileu. Kampung itu delapan jam perjalanan naik kuda mendaki
perbukitan yang juga dihuni oleh orang Makassai dan Cairui.
Bibileu. Pada tanggal
12 Agustus ia mengatakan kepada saya, sekarang punya satu rumah di kampung yang
namanya Hare Oan. Bibileu adalah kerajaan terbesar keempat di Pos Dalam Negeri,
jadi teman-teman saya menginap di sana pada tanggal 12 Agustus.
Ketika kuda-kuda sudah
kami naiki untuk membawa tim itu ke kerajaan berikut, yaitu kerajaan Uai Mori,
saya mengetahui bahwa orang Tetum di Bibileu sudah lebih jauh Kristen daripada
yang dikatakan orang kepada saya. Karena itu, saya putuskan untuk menemukan
sendiri bagaimana hubungan sesungguhnya antara agama dan bahasa di seluruh Pos
Dalam Negeri.
Ketika pulang sesudah
mengadakan perjalanan singkat terakhir, saya putuskan bahwa sebelum pergi ke
Hare Oan, akan saya habiskan waktu beberapa hari untuk menyaring data-data yang
sudah saya kum pulkan untuk meyakinkan diri saya bahwa kampung yang jauh
letaknya itu benar-benar sangat cocok dengan kebutuhan saya.
Saya pun merasa senang,
tetapi kini ada masalah rumah untuk saya di Bibileu. Saya harus minta kepada
administrator agar memberitahukan kepada kepala Pos Bibileu bahwa rencana saya
mengalami perubahan.
Para pekerja lapangan
yang terlatih dalam penelitian biasanya berharap dapat tinggal di jantung
komunitas pribumi, seraya mempelajari bahasanya dan secara akrab terlibat penuh
dalam adat kebiasaan komunitas tersebut. Saya sendiri tak pernah memikirkan
yang lain dari itu. Selama beberapa minggu, saya menganggap perjalanan harian
saya dari kampung Viqueque itu sekadar sebagai cara untuk mengisi masa interim,
sementara rumah saya yang baru sedang dibangun. Namun perkembangan peristiwa
justru lebih baik lagi.
Ada dua keuntungan kalau kami tinggal di
luar komunitas itu. Pertama, kami lebih dapat menjaga kesehatan kami dan
kesehatan bayi kami. Aturan kesehatan sehari-hariyang kami paksakan kepada para
pembantu lelaki dan perempuan kami di Viqueque rasanya tidak cocok untuk sebuah
dukuh. Kedua, orang kampung tidak suka melihat atau mendengar kata-kata yang
mereka ucapkan dicatat. Karena itu, kami harus menyimpan saja informasi apa pun
yang kami dapat dalam ingatan kami, sampai akhir hari itu.
Bekerja
Pada bulan September
dan Oktober, saya meninggalkan rumah dan mengembara menelusuri jalan-jalan
setapak yang menghubungkan berbagai dukuh dengan maksud menemukan orang yang
mau bercakap-cakap dengan orang asing yang penguasaan bahasa Tetumnya lebih
buruk daripada seorang anak umur empat tahun. Karena sulit mengerti maksud
saya, hanya sedikit orang yang cukup sabar dan mau berbicara dengan saya.
Karena itu, berjam-jam saya habiskan untuk mengembara sendirian, menelusuri
jalan-jalan setapak dan memasukkan ciri-ciri lingkungan yang menonjol ke dalam
peta yang sedang saya buat.
Di antara keturunan
yang terpelajar dari para raja,terutama anak-anak salah seorang raja, saya
melihat sikap merendahkan kebudayaan sendiri. Mereka minta kami mengabaikan
saja, kalau mereka kami tanya tentang agama tradisional atau lembaga-lembaga
kekerabatan mereka.
Kemudian kami ketahui
bahwa Paulo telah berhasil menaikkan kedudukan sosialnya dengan kunjungan kami
itu. Juga kunjungan itu merupakan pertukaran keuntungan yang adil.
Paulo juga menyimpang
dari jalannya untuk menyambut tamu-tamu dari Eropa. Dengan kehadiran mereka, ia
dapat memamerkan kecanggihannya di hadapan kawan-kawan yang begitu terkesan.
Sekalipun Paulo meremehkan para pemeluk kepercayaan tradisional, tetapi ia
berusaha memperkuat kedudukannya dalam komunitas dengan menyediakan waktu
melimpah dan memberikan secara royal kepada orang-orang kampung yang lain.
Karena saya semula
berhubungan dengan para pejabat dan para raja, dan tinggal pula di kampung
pemerintahan itu sendiri, sukar bagi saya menghapuskan kesan hubungan dengan
birokrasi tersebut. Tetapi pada waktunya, dengan menekan sampai
sekecil-kecilnya hubungan dengan para pejabat itu saya pun dapat menghapusnya.
Kaum misionaris yang
kami kenal di Timor telah mengorbankan waktu bertahun-tahun dalam hidupnya
untuk orang Timor dan membaktikan diri demi kesejahteraan mereka. Tetapi mereka
yakin bahwa agama-agama orang pribumi itu salah dan adat kebiasaan tertentu
orang Timor tidak bermoral.
Bekerja di
tengah-tengah orang seperti itu, seorang ahli antropologi bisa mengalami
kesulitan dalam memperoleh jawaban yang tulus atas pertanyaan-pertanyaan yang
diajukannya, dan bisa membangkitkan perhatian yang tak diinginkan dari
orang-orang sok di situ, yang merasa dirinya sebagai pelopor orde yang baru dan
maju.
Apabila saya mulai
berbicara dengan seseorang tentang suatu kebiasaan yang oleh para misionaris
dinyatakan sebagai kebiasaan yang memalukan, ia akan mengalihkan percakapan
kepada pokok pembicaraan yang tidak begitu peka.
Orang-orang yang
memedulikan warisan nenek moyangnya tahu bahwa angkatan mendatang akan
mengabaikan cerita-cerita kuno itu, dan mereka ingin agar cerita-cerita itu
diabaikan saja. Orang boleh mencoba untuk tidak menghubungkan diri dengan
sesuatu kelompok pun, tetapi dengan berbuat
demikian ia akan menanggung risiko menjadi asing dengan semua lapisan
yang ada.
Tetapi pada waktunya,
dengan menekan sampai sekecil-kecilnya hubungan dengan para pejabat itu, saya
pun dapat menghapusnya.
Kewaspadaan mereka meningkat, ketika
mereka melihat saya bekerjasama dengan tim sensus di rumah raja mereka. Dimata
mereka, hubungan ini menjadikan saya seorang birokrat, dan ini merupakan
identifikasi yang tidak menyenangkan pada bulan-bulan pertama saya melakukan
kerja lapangan, ketika tak seorang pun di Mamulak mengetahui dengan jelas apa
yang hendak saya lakukan.
PANDANGAN
ORANG TIMOR TERHADAP ALAM SEKITAR
Piet
Manehat SVD, M.A.
Pendahuluan
Kebudayaan adalah cara berpikir, cara
hidup, cara bertindak, dan cara berkarya seseorang. Dari analisis mendasar
tentang kebudayaan, jelas sekali bahwa manusia pada prinsipnya hidup dalam
perpaduan dunia kemarin, dunia hari ini, dan dunia hari esok.
Pola
dan Pandangan Hidup
Seturut ceritera
turun-temurun, selain orang Timor secara keseluruhan, dikenal juga cara dan
pola hidup manusia Atoni Pah Meto. Orang mengenal mereka sebagai peramu, yang
berarti suka berpindah-pindah tempat akibat peperangan atau bahaya penyakit,
atau tersebar oleh keagamaan asli dan alam sekitar yang tidak bersahabat dengan
umat manusia. Keadaan yang tidak bersahabat disebut: afu i nata’an (Uab Meto)
atau rai nee makaas/manas (Tetun), yang secara harfiah berarti tanah tempat
tinggal ini panas.
Dalam pola atau cara
hidup orang Timor, mereka memandang dirinya sebagai citra yang berada dengan
orang lain, atau insan yang hidup bersama dengan wujud lain di dunia. Selain
pola atau cara hidup meramu, orang-orang Timor mengenal pola atau cara hidup
bertani/berladang. Setelah menemukan tempat yang cocok dan aman, warga
masyarakat mulai mengusahakan di tempat tersebut, di mana lokasi yang sama
justru dilihat sebagai tempat yang sangat cocok untuk berladang atau bertani.
Dengan pola dan cara
hidup yang baru, orang Timor memandang dunia dan lingkungan sekitar, kebun atau
ladang, sebagai satu dunia kecil (mikro) di antara dunia besar/luar
(makro-kosmos).
Pengalaman hidup orang Timor yang
berdasarkan cara dan pola hidup yang sama akan dapat ditemukan dalam
contoh-contoh berikut, di mana manusia mengalami bahwa alam sekitar selalu
mempengaruhi, memberi tanda dan arti, serta membawa rezeki baik dan/atau buruk
kepada kehidupan manusia.
Pandangan
Orang Timor Terhadap Alam
Akan dijumpai banyak
cerita (apakah itu mitologi, atau legenda atau kisah-kisah lain) mengenai
pandangan orang Timor terhadap alam sekitar. Pandangan Orang Timor terhadap
alam sekitar dikumpulkan berdasarkan cerita-cerita yang tercecer mengenai
hutan, waktu menanam, kebudayaan memetik hasil panen, kebiasaan bekerja di
laut, hujan, api, binatang, dan lain-lain yang dianggap sebagai satu kesatuan
kosmos.
Hutan
Orang Timor umumnya,
dan masyarakat Atoni Pah Meto khususnya,
menganggap hutan sebagai tempat bersemayam
makhluk-makhluk halus. Makhluk-makhluk halus yang jahat biasa dikenal dengan nama nainna (jin), atoisa (hantu), dan diabu (setan).
Hutan masih dibagi lagi menjadi dua
bagian yaitu: hutan yang dianggap keramat dan hutan yang tidak keramat. Hutan
model pertama dapat disamakan dengan hutan lindung di mana masyarakat sama
sekali tidak boleh menjadikannya sebagai lahan pertanian atau perkebunan.
Sedangkan model hutan yang kedua diizinkan untuk dijadikan sebagai lahan
pertanian. Pelanggaran terhadap hutan model pertama dapat mendatangkan balasan
bagi si pelanggar.
Menanam
Sebelum menanami kebun
baru (juga kebun lama), ada kebiasaan dan kepercayaan yang hidup dalam
masyarakat, yakni mencari nasib. Maksudnya, mereka mencari tahu tentang panen
yang bakal datang, entah melimpah atau gagal dan biasa-biasa saja. Pekerjaan
sedemikian menjadi bagian kaum lelaki atau calon pemimpin keluarga.
Pada waktu menanam kebun, mula-mula tuan
kebun menentukan pusat kebun dan membentuk lingkaran-lingkaran kecil di
sekitar. Di dalam lingkaran tersebut diletakkan tiga buah batu membentuk sebuah
tungku. Tungku itu menyangga sebuah batu datar yang di atasnya diletakkan
bibit-bibit
Panen
Di daerah Makun (Biboki Utara - Timor
Tengah Utara, NTT), ada kepercayaan sebagai berikut: jika pada saat musim di
mana tanaman mulai siap dipanen (musim menuai) dan saat itu turun hujan dari
arah selatan, para petani bersedih karena hasil panen mereka bakal rusak.
Sedangkan kalau hujan datang dari arah timur, mereka gembira karena hasil panen
mereka akan membaik. Pada saat itu perjalanan ke luar daerah (misalnya ke
Atambua, Kukinu, Lurasik, Kefamenanu, dan lain-lain) boleh dilakukan.
Laut
Orang Atoni Pah Meto
menyebut Laut Timor sebagai Taes Mone
(Laut Jantan) karena sifatnya kasar, ganas, dan jahat. Sedangkan Laut Sawu disebut sebagai Taes Feto (Laut Betina) karena sifatnya lembut, tidak ganas,
dan tidak kasar. Orang Belu
menyebutnya Tasi Mane dan Tasi Feto.
Di pantai-pantai, ada beberapa pantangan
yang mengandung ajaran moral, kebersihan lingkungan, dan kelestarian alam.
Antara lain, bila dalam perjalanan, seseorang terantuk pada kayu atau batu,
jangan sekali-sekali melontarkan sumpah serapah atau maki-makian secara
spontan, karena cara seperti itu bakal mendatangkan bencana dan malapetaka.
Kalau seseorang terantuk, hendaknya secara spontan mengatakan kata-kata
terhormat, baik dan terpuji, misalnya: terima kasih, syukur, dan lain
sebagainya.
Hujan
Bila hujan tidak pernah datang dalam
setahun, orang harus melakukan upacara korban di Oe Le’u (sumber air keramat
sejak nenek moyang). Mereka percaya bahwa mungkin selama persediaan air
melimpah, orang lupa diri dan tidak ingat lagi akan nenek moyang. Karena itu,
leluhur marah dan menyembunyikan air ke dalam sebuah batu besar. Untuk
memanggil air keluar dari batu besar tersebut, orang harus mengorbankan seekor
babi, menyusul membersihkan daerah sekitar batu besar yang sama.
Api
Walaupun sangat berguna
untuk kehidupan umat manusia, api merupakan sesuatu yang menimbulkan bahaya,
jika tidak dipakai dengan hati-hati. Karena itu, untuk menakut-nakuti anak-anak
kecil agar mereka tidak bermain api, bagi mereka diciptakan sebuah model ajaran
yang nilainya tersirat dalam larangan dengan alasan yang dikarang-karang.
Misalnya, jika mereka bermain-main dengan bara api pada kayu yang
digoyang-goyangkannya, maka perut (pusar) kambing atau sapi akan terluka.
Catatan: yang dinasihati ini umumnya
bakal menjadi gembala ternak, sehingga tentunya mereka sangat mencintai
hewan-hewan gembalaannya dan tidak mau hewan mereka terluka. Karena itu mereka
tidak akan bermain bara api lagi.
Bulan
Menurut masyarakat Atoni Pah Meto, Timor
Tengah Utara, gerhana bulan terjadi oleh karena seekor anjing raksasa menelan
Dewi Bulan. Untuk menolong bulan agar pulih seperti sedia kala, mereka harus
menangkap anjing, kemudian menyakitinya agar dipindahkan karena rasa sakitnya,
anjing itu bisa melolongi mereka. Pada saat itu, masyarakat hendaknya
membunyikan gendang, lesung, bambu, periuk, dan lain-lain. Melolong sangat
perlu bagi anjing raksasa, karena hanya dengan cara itu, Dewi Bulan dapat
dimuntahkan kembali dari dalam perut anjing raksasa tersebut.
Air
Air dianggap sebagai pembersih segala
sesuatu yang kotor, juga sebagai sumber hidup. Dalam cerita-cerita tempo dulu
bahkan berlaku sampai hari ini – nyata jelas tentang pemindahan rumah adat yang
diawali dengan penyucian terlebih dahulu. Seorang ketua adat mengambil Oe Le’u
(air suci dan keramat) dari sebuah sumber air yang keramat. Di daerah Makun
(Biboki - TTU), orang mengambilnya di Maubena. Selama proses pengambilan itu,
yaitu pada waktu ketua adat menyentuh Oe Le’u, ia akan menjadi kesurupan.
Gejalanya, badannya gemetar dan bergetar seperti kena aliran listrik. Jika saat
itu ada seseorang menyentuhnya, ia pun segera kejangkitan kesurupan.
Batu
dan Burung
Di daerah Oepaha, kawasan Makun, ada
sebuah batu besar berbentuk palungan. Dulu sesekali nenek moyang menggunakannya
sebagai piring bagi makanan hewan ternak. Batu besar itu sekarang telah
dikeramatkan. Bila mengambil Oe Le’u di Maubena, pulangnya harus melewati
(singgah) pada batu besar itu untuk meminta izin terlebih dahulu.
Kera
atau Monyet
Kera atau monyet dulunya adalah seorang
manusia. Karena ia seorang yang pemalas dan suka mencuri makanan orang lain, ia
diadukan ke hadapan dewan penguasa segala makhluk. Akhirnya ia diadili dengan
sangat kejam. Dewa memasang sebuah irus di pantatnya yang kemudian berubah
menjadi ekor. Karena itu, ada kepercayaan pada masyarakat Timor bahwa kalau
seorang anak malas melakukan suatu pekerjaan, ia tidak boleh dipukul dengan
irus, sebab ia akan bertingkah laku seperti monyet, atau bahkan ia dapat
berubah rupa menjadi seekor monyet.
Pohon
Cendana adalah kayu yang dianggap
keramat atau suci. Orang tidak boleh seenaknya menebang kayu-kayu jenis
tersebut, karena hal itu dapat mendatangkan malapetaka bagi mereka yang
menebangnya. Ranting-rantingnya dilarang untuk dipakai sebagai kayu bakar
karena makanan yang dimasak akan menjadi harum semerbak seperti kayu cendana.
Penutup
Tulisan ini baru merupakan sebagian
kecil rekaman tentang pandangan orang Timor terhadap alam sekitar. Pasti masih
terlalu jauh dari apa yang diharapkan. Kendati amat minim, inilah sumbangan
kami. Untuk seterusnya sangat diharapkan ketekunan dari setiap orang untuk
mengumpulkan kisah, cerita-cerita, dan berbagai gambaran mengenai kehidupan
orang Timor pada masa silam.
UMA
KAKALUK DAN UMA LULIK
(Museum
Tradisional Rakyat Timor Leste)
Dr.
Eman Ulu, M.Ed.
Pendahuluan
Secara umum, sebetulnya masyarakat Timor
Leste belum mengenal apa arti sebuah museum. Namun secara tradisional, dalam
pengertian yang tidak umum, museum sebetulnya sudah dikenal dan sudah ada sejak dahulu kala. Yang dimaksudkan dengan
museum dalam konteks ini adalah Uma Kakaluk dan Uma Lulik (Bahasa Tetun). Uma Kakaluk dapat diterjemahkansebagai “Rumah
Pertemuan”. Sedangkan Uma Lulik adalah “Rumah
Keramat” atau “Rumah Suci”.
Aturan
dan Larangan
Baik Uma Kakaluk maupun Uma Lulik
memiliki serangkaian peraturan dan larangan yang patut ditaati. Semua peraturan
dan larangan yang diberlakukan pada kedua Uma (Rumah) tersebut disebut sebagai
Uma Fukun (Hukum Rumah). Hukum Rumah inilah yang mengatur manusia dan alam
lingkungannya dengan perantaraan Lia Na’in (ahli bicara) yang sifatnya
religius, dan secara legislatif dilaksanakan oleh Dato (Pemimpin Kampung) dan
secara eksekutif dijalankan oleh Liu Rai (Raja).
Hahan
Uma
Dato-dato memiliki kekuasaan penuh
terhadap kelengkapan dan keamanan Uma Kakaluk dan Uma Lulik. Selain dato-dato,
keluarga-keluarganya yang keturunan garis patrilineal juga mempunyai hak dan kekuasaan
terhadap Uma Kakaluk dan Uma Lulik.
Benda-Benda
Budaya
Benda-benda budaya di
daerah Timor Leste dapat dibagi sebagai berikut:
1. Benda budaya yang memiliki nilai
historis karya kaum pribumi.
2. Benda-benda budaya yang memiliki
nilai historis asal luar daerah Timor Leste.
3. Benda-benda budaya historis yang
memilik kekuatan magis.
4.
Benda-benda alamiah yang memiliki fungsi dan peranan dalam masyarakat tetapi
sudah jarang digunakan.
Benda
Budaya Asli
Benda-benda budaya yang
memiliki nilai historis karya asli orang Timor Leste memang sangat banyak. Di
bawah ini akan diketengahkan sebagian dari benda-benda tersebut sesuai
pembagian berikut ini:
1. Benda-benda pehiasan untuk kaum pria
dan wanita:
a. Kaibauk (bulan sabit)
b. Belak (matahari)
c. Loku (gelang untuk lengan)
d. Butilima (gelang untuk pergelangan
tangan) dan lain-lain.
2. Benda-benda perlengkapan rumah
tangga:
a. Au kenuk (semacam gelas terbuat dari
tanah liat)
b. Knuru (sendok dari tempurung kelapa
atau kayu)
c. Biti keli/biti larok (tikar khusus
untuk upacara)
d. Dadarak (semacam piring yang terbuat
dari anyaman)
e. Lafatik (tempat nasi yang terbuat
dari anyaman yang berhias) dan lain-lain.
3. Alat-alat berburu tradisional:
a. Diman (tombak)
b. Rama (panah)
c. Hahuk (sumpit)
d.
Hamaen diman (tombak ditaburi rahmat)
Fungsi
dan Kegunaan
Benda-benda tersebut di atas memiliki
fungsi dan kegunaan yang besar dalam kehidupan. Dan semua benda tersebut akan
disimpan di dalam Uma Kakaluk, apabila benda-benda itu adalah milik seorang
bangsawan/raja yang telah berjasa terhadap rakyatnya. Juga apabila terjadi
perang antar suku dan kemenangan berada di satu pihak, maka benda-benda yang
digunakan dalam perang tersebut akan disimpan di dalam Uma Kakaluk yang
didahului dengan suatu upacara Hatur Diman (meletakkan tombak) yang kemudian
disusul dengan acara makan bersama.
Penutup
Uma Kakaluk dan Uma Lulik sebagai pusat
kegiatan sosial budaya masyarakat Timor
Leste perlu dipelihara, karena merupakan warisan budaya asli yang mempunyai
nilai sejarah. Kecuali itu, benda-benda tersebut masih mempunyai peranan
penting dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu, pada tempatnya kalau
benda-benda tersebut tetap dapat dipertahankan untuk disimpan di kedua rumah
adat ini.
PUSAKA
KERAMAT NENEK MOYANG
Gabriel
Atok, SVD, M.Sc.
Pendahuluan
Menyinggung tentang
pusaka, terbayang dalam pikiran harta peninggalan nenek moyang, termasuk
orangtua, yang diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucu dalam keluarga, atau
juga warisan yang ditinggalkan untuk seluruh keluarga, dan, atau anggota suku.
Kalau kita menjelajah seluruh daerah
Timor, akan ditemukan peninggalan-peninggalan dan warisan nenek moyang yang
tersimpan di rumah-rumah adat/rumah pemali. Barang-barang pusaka itu
sebagiannya dihormati oleh seluruh anggota suku, sehingga menjadi pusaka
keramat dan bahkan dianggap memiliki kekuatan magis yang dapat mendatangkan
berkat, kesejahteraan dan kemakmuran bagi semua anggota suku dalam masyarakat.
Selain berkat, barang-barang itu juga dapat
Jenis-Jenis
Barang Pusaka Keramat dan Tempat Penyimpanannya
Dari hasil penelitian dan wawancara yang
diadakan diberbagai tempat di kawasan pulau Timor, baik di Kabupaten Dati II
Kupang, TTS, TTU, maupun di Kabupaten Belum
ditemukan bahwa jenis barang-barang yang dianggap keramat dan mempunyai
kekuatan magis adalah antara lain, keris, pedang, tombak, parang, kain sarung,
ikat pinggang, perhiasan-perhiasan (kalung, anting-anting, gelang, cincin,
sisir emas), batu bundar, saku, dan tempat sirih pinang. membawa malapetaka,
bencana atau sakit, jika disalahgunakan atau tidak dihormati sebagaimana
mestinya.
Keramatnya
Barang Pusaka dan Dampaknya Atas Kehidupan Anggota Suku
Barang-barang pusaka seperti disebut di
atas benar-benar dianggap keramat atau sakti oleh seluruh warga keluarga atau
suku yang menyimpannya, dan hanya pemuka adat atau ketua suku yang dapat
mendekati, meraba, dan melihat barang pusaka nenek moyang tersebut. Umumnya
kaum wanita, terlebih yang masih muda dan dalam usia subur, tak pernah
diperkenankan untuk menghampiri, meraba, atau melihat barang-barang tersebut
karena dapat menyebabkan wanita yang bersangkutan menjadi mandul atau sakit
atau celaka.
Fungsi
dan Nilai Barang Pusaka
Dilihat dari segi nilai
ekonomis, banyak barang pusaka yang dianggap keramat oleh suku-suku Timor
barangkali tak bermanfaat lagi. Tetapi jika dilihat dari nilai rohani atau
spiritual barang-barang pusaka ini bernilai tinggi, yakni sebagai satu
peninggalan, kenangan, atau tanda mata yang sangat nyata dari para nenek
moyang.
Ditinjau dari segi ilmu antropologi
budaya atau ilmu sosial dan ilmu kemasyarakatan, barang-barang pusaka yang
tersimpan di rumah-rumah adat di seluruh Timor dapat dijadikan sebagai bahan
penelitian untuk kepentingan adat istiadat dan kebudayaan orang Timor, yang
ternyata mempunyai nilai historis.
Pengaruh
Arus Modernisasi terhadap Barang Pusaka Nenek Moyang
Bila kita berjalan ke pedalaman pulau
Timor, di mana-mana muncul rumah-rumah permanen yang seolah mendesak
rumah-rumah tradisional. Gejala seperti itu tentunya dapat mempengaruhi respek
masyarakat terhadap rumah-rumah adat atau rumah-rumah pemali tempat
tersimpannya pusaka keramat nenek moyang. Akibat dari perkembangan modern
tersebut, ada barang-barang pusaka yang dimusnahkan, yakni dibuang, dijual,
dan/atau dipakai begitu saja. Pusaka nenek moyang yang dulunya dianggap
keramat, kini mulai dianggap biasa dan bahkan tak bernilai lagi.
Penutup
Dari uraian di atas
dapat dikatakan secara singkat bahwa barang-barang pusaka keramat di Timor
merupakan milik warga suku yang kini terus dipelihara di dalam rumah adat. Hal
ini hendaknya tetap dilestarikan. Bila perlu, di kabupaten-kabupaten
dibangunkan museum-museum untuk menyimpan barang peninggalan nenek moyang
karena ternyata barang-barang itu mempunyai nilai budaya dan sejarah.
Ringkasan
Buku Orang Sakai di Riau
Indonesia merupakan
negara yang memiliki penduduk yang sangat padat. Selain itu masyarakatnya
terdiri dari bermacam-macam suku. Sehingga dikenal dengan istilah bertbeda-beda
tetapi tetap jua. Ada suku Madura, suku Sakai di Riau, suku Samin yang ada di
Bojonegoro dan sebagainya, yang merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi
negara Indonesia. Akibat dari adanya bermacam-macam suku tersebut Indonesia
bisa memiliki berbagai kebudayaan, baik dari segi bahas, mata pencaharian
maupun agama. Dalam makalah ini akan diterangkan tentang suku Sakai yang ada di
Riau. Orang Sakai berada lumayan jauh dari kota, selain itu masyarakatnya tidak
terlalu padat. Hal ini dikarenakan dengan beberapa hal yang akan diterangkan
dalam makalah.
A. Lokasi dan Lingkungan hidup orang
Sakai.
Di propinsi Riau ada
lima kabupaten. Yaitu, Kab. Kampar, Kab. Bengkalis, Kab. Indragiri hulu, Kab.
Riau, serta ada satu kota madya. Yaitu Pekan Baru yang menjadi Ibukota Riau.
Orang Sakai hidup di wilayah Kab. Bengkalis. Sedangkan orang Sakai terbanyak
adalah yang berada di wilayah Kecamatan Mandau. Sebagian kecil lainnya hidup di
wilayah Kecamatan Bukit Baru. Desa-desa yang berpenduduk asli suku Sakai ada di
desa-desa seperti Talang Parit, Talang Sei Limau dan sebagainya. Tempat tinggal
orang Sakai pada umumnya terletak di tepi-tepi mata air dan rawa-rawa. Melalui
jalan sungai atau jalan darat, yaitu dengan jalan kaki atau merambah hutan,
tempat tinggal mereka dapat dicapai. Sehingga sebetulnya orang Sakai tidak
sepenuhnya terasing dari masyarakat luas Riau. Karena lingkungan hidup mereka
jauh dari pantai, maka lingkungan hidup mereka adalah rawa-rawa, atau daerah
berpaya-paya, berhutan serta bersungai. Fauna dan flora lingkungan hidup mereka
sama dengan lingkungan alam wilayah Riau, khususnya lingkungan alam bukan
pantai.
Mereka hidup
tepencar-pencar dalam sebuah satuan wilayah yang berada dalam sebuah satuan
administrasi yang dinamakan batin (dukuh) kalau penduduknya sedikit, dan
kepenghuluan kalau jumlah penduduknya banyak. Pada masa sekarang perbatinan
sudah tidak ada lagi, yang ada adalah penghuluan (desa). Ketika kota Duri mulai
dibangun dan dikembangkan, orang Sakai sebagian besar yang menghuni
wilayah-wilayah disekitar kota tersebut diminta pergi dengan diberi pesangon
untuk penggantian rugi atas tanah dan pepohonan serta tanaman-tanaman yang ada
diladang-ladang mereka. Sebagian dari mereka berpindah tempat pemukiman ke
kelompok-kelompok tempat tinggal atau desa-desa orang Sakai lainnya, dimana
mereka mempunyai kerabat. Sedangkan sebagian lainnya berpindah ketempat pemukiman
masyarakat terasing yang didirikan oleh Departemen sosial beberapa tahun
kemudian setelah penggusuran tersebut.
B. Masyarakat dan Kebudayaan Orang Sakai
1.
Sejarah dan asal muasal orang Sakai.
Bechary
Hasmy (1970), mantan kepala Kecamatan Mandau, mengatakan bahwa kata sakai
berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, A-ir, K-ampung, A-nak,
I-kan. Hal itu mencerminkan pola-pola kehidupan mereka, di kampung, tepi-tepi
hutan, di hulu-hulu anak sungai yang banyak ikannya dan yang cukup airnya untuk
minum dan mandi. Sedangkan menurut Parsudi suparlan, dari seorang bekas kepala
perbatinan (dukuh) sakai yang bernama Saepel, mengatakan bahwa kata sakai
berasal dari kata sekai, yaitu nama sebuah cabang anak sungai yang bermuara di
sungai Mandau. Selanjutnya dia juga mengatakan bahwa nama sakai juga berasal
dari kata saka, yaitu tiang rumah punggung utama, atau juga kata sikai
(tergolong spesies calamus), yaitu sejenis pohon salak yang tidak berbuah dan
banyak terdapat di hutan-hutan tempat hidup mereka, yang daunnya di gunakan
untuk atap rumah.
Menurut
Moszkowski (1089) yang di kutip oleh Loeb (1935), orang sakai adalah orang
veddoid yang bercampur dengan orang-orang minangkabau yang datang bermigrasi
pada sekitar abad ke-14 ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, di tepi sungai Gasib,
di hulu sungai Rokan. Gosib kemudian menjadi sebuah kerajaan, kemudian kerajaan
gasib di hancurkan oleh kerajaan aceh, dan warga masyarakat ini melarikan diri
ke hutan-hutan di sekitar daerah sungai-sungai Gasib, Rokan, dan Mandau serta
seluruh anak-anak sungai Siak. Mereka adalah nenek moyang orang sakai. Dalam
uraian Saepel (mantan batin beringin sakai), yang di wawancarai oleh Parsudi
Suparlan, mengenai asal muasal orang sakai tercakup sejarah awal mula adanya
perbatinan lima dan perbatinan delapan. Yang coraknya seperti dua paruh
masyarakat. Adapun asal muasal orang sakai menurut Parsudi Suparlan, dalam
versi orang sakai itu sendiri adalah sebagai berikut.
Orang
sakai datang dari kerajaan Pagarruyung, Minangkabau Sumatra Barat, dalam dua
gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14,
langsung ke daerah Mandau.Mereka ini ada lima keluarga yang masing-masing
membangun rumah dan tempat pemukiman sendiri, yang karena itu disebut dengan
perbatinan lima. (lima dukuh). Setelah beberapa tahun tinggal di desa Mandau,
rombongan yang berjumlah lima keluarga ini, memohon untuk di beri tanah atau
hutan untuk mereka menetap dan hidup, karena tidak mungkin bagi mereka untuk
kembali ke Pagarruyung. Oleh kepala desa Mandau, masing-masing keluarga di beri
hak atas tanah-tanah atau hutan-hutan. Yaitu di daerah sekitar Minas, sungai
Gelutu, sungai Penaso, sungai Beringin, dan di daerah sungai Ebon.
Beberapa
lamanya setelah keberangkatan rombongan meninggalkan Pagarruyung, kerajaan ini
telah menjadi padat lagi. Secara diam-diam, tanpa meminta izin dari raja,
sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang (12 orang perempuan dan sebuah
keluarga yang terdiri dari suami dan istri, serta seorang hulubalang yang
menjadi kepala rombongan yang bernama batin sangkar) pada suatu malam
meninggalkan Pagarruyung. Tujuan mereka adalah membuka tempat baru untuk
bermukim. Sehingga mereka sampai di hulu sungai Syam-Syam, di Mandau dan
berkeliling sampai di daerah yang dialiri tujuh buah anak sungai. Di tempat ini
mereka tinggal untuk beberapa tahun lamanya.
Suatu
ketika seorang istri hamil dan nyidam, dan meminta kepada suaminya untuk
mencarikan bayi rusa jantan yang masih ada dalam kandungan. Tetapi yang di
dengar oleh sang suami adalah bayi jantan yang dikandung oleh pelanduk (kancil)
jantan. Sehingga suami pergi berburu dan tidak pernah kembali, karena ia telah
berjanji tidak akan menemui istrinya kalau tidak dapat memenuhi permintaan
istrinya. Sedangkan 12 orang perempuan yang di pimpin oleh batin sangkar
bermaksud meninggalkan tempat tersebut, mencari daerah lainnya yang lebih baik.
Sang istri tidak mau ikut, dan 12 orang perempuan tetap berangkat, dan sang
istri melahirkan bayi laki-laki. Setelah sang bayi besar, maka sang anak ibunya
tersebut kembali ke Pagarruyung, dan meminta maaf kepada raja Pagarruyng,
kemidian mereka menceritakan semua apa yang telah mereka alami.
Dan
raja mengirim satu rombongan untuk menyusul Batin Sangkar.
Rombongan yang dipimpin Batin Sangkar akhirnya sampai di daerah petani, setelah melewati hutan belantara dan rawa-rawa. Setelah menetap di daerah ini untuk beberapa tahun lamanya, Batin Sangkar memecah rombongan tersebut ke dalam delapan tempat pemukiman yang letaknya saling berdekatan. Mereka membuat hutan untuk tempat pemukiman baru. Yaitu, Petani, Sebaya atau Duri Km 13, Air Jamban Duri, Pinggir, Semunai, Syam-syam, Kandis, dan Balai Makam. Secara kebetulan setelah delapan tempat itu di bangun, datang satu rombongan yang disuruh oleh raja Pagarruyung. Kemudian oleh Batin Sangkar satu rombongan tersebut di bagi rata penempatannya di delapan tempat pemukiman. Batin Sangkar menyuruh seorang cendekia untuk menghadap kepada raja Siak, dan meminta izin untuk dapat dijadikan rakyat kerajaan Siak Indrapura dan di beri pengesahan atas hak pemukiman dan menggunakan tanah atau hutan diwilayahnya. Oleh raja Siak delapan tempat tersebut disahkan sebagai sebuah perbatinan (dukuh) dengan kepalanya seorang Batin (kepala dukuh) dan diterima sebagai bagian dari kekuasaan kerajaan Siak Indrapura. Kedelapan buah perbatinan tersebut di sebut dengan perbatinan delapan.
Rombongan yang dipimpin Batin Sangkar akhirnya sampai di daerah petani, setelah melewati hutan belantara dan rawa-rawa. Setelah menetap di daerah ini untuk beberapa tahun lamanya, Batin Sangkar memecah rombongan tersebut ke dalam delapan tempat pemukiman yang letaknya saling berdekatan. Mereka membuat hutan untuk tempat pemukiman baru. Yaitu, Petani, Sebaya atau Duri Km 13, Air Jamban Duri, Pinggir, Semunai, Syam-syam, Kandis, dan Balai Makam. Secara kebetulan setelah delapan tempat itu di bangun, datang satu rombongan yang disuruh oleh raja Pagarruyung. Kemudian oleh Batin Sangkar satu rombongan tersebut di bagi rata penempatannya di delapan tempat pemukiman. Batin Sangkar menyuruh seorang cendekia untuk menghadap kepada raja Siak, dan meminta izin untuk dapat dijadikan rakyat kerajaan Siak Indrapura dan di beri pengesahan atas hak pemukiman dan menggunakan tanah atau hutan diwilayahnya. Oleh raja Siak delapan tempat tersebut disahkan sebagai sebuah perbatinan (dukuh) dengan kepalanya seorang Batin (kepala dukuh) dan diterima sebagai bagian dari kekuasaan kerajaan Siak Indrapura. Kedelapan buah perbatinan tersebut di sebut dengan perbatinan delapan.
C. Kependudukan.
Menurut
Koentjaraningrat, dkk, yang mengutipcatatan Departemen Sosial Propinsi Riau
pada tahun 1982, terdapat 4.995 orang sakai. Mereka hidup di 13 desa
(kepenghuluan). Menurut
Parsudi Suparlan keluarga orang Sakai sangat kecil, mereka rata-rata mempunyai
dua orang anak. Tingkat kematian balita sangat tinggi, begitu juga tingkat
kemandulan. Kelambatan pengembangan jumlah penduduk orang Sakai tampaknya
disebabkan oleh beberapa faktor. Yaitu;
1. Mutu gizi
yang rendah dari makanan sehari-hari, yaitu menggalo mersik, atau ampas dari
hasil pemprosesan ubi kayu beracun.
2. Tingkat
klebersihan tubuh dan lingkungan hidup amat rendah.Mandi dan mencuci pakain di
lakukan tidak teratur.
3. Kurangnya
mengadakan hubungan kelamin diantara suami istri, karena seringnya suami pergi
kehutan.
D. Mata Pencaharian dan kehidupan ekonami.
Setiap orang Sakai
harus memiliki sebidang tanah, bahkan orang dewasa atau remaja yang masih
bujangan pun harus memiliki tanah atau ladang. Karena hanya dari ladang itulah
mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Untuk pembuatan ladang
melalui empat tahapan. Yaitu, memilih tempat untuk berladang. Tanah yang
dipilih biasanya tidak banyak semak belukarnya. Tanahnya miring agar tidak
tergenang air, berdekatan dengan anak sungai atau air yang mengalir, dan tidak
ada sarang semutnya.Yang kedua, membuka hutan untuk dijadikan ladang. Mereka
memberi tahu Batin, tentang maksud membuka ladang diwilayah hutan yang mereka
pilih. Bila telah selesai urusan ini, maka mereka menebang pohon-pohon yang ada
dihutan yang mereka pilih. Yang ketiga, mereka menanam benih padi. Kemidian
mereka menanam ubi kayu beracun dan sayur-sayuran serta tanaman-tanaman
lainnya. Menjerat hewan, menangkap ikan dan
meramu hasil hutan.
Biasanya orang Sakai juga menjerat berbagai jenis hewan liar, (kijang, kancil, babi hutan) atau hewan lainnya yang secara tidak sengaja terjerat. Mereka juga menangkap ikan dengan menggunakan cukah yang terbuat dari anyaman rotan. Selain itu, mereka juga menggunakan jaring untuk menangkap ikan kecil-kecil. Serta menggunakan serok untuk udang-udang yang berada dirawa-rawa. Kegiatan ini dilakukan ketika kegiatan diladang berkurang atau seusai menanam padi.Disamping itu mereka juga meramu atau mengumpulkan hasil hutan. Seperti dahan-dahan kering untuk kayu bakar, jamur setelah hujan turun, pucuk-pucuk daun untuk bumbu, damar, kemenyan, kapur barus dan karet.
Biasanya orang Sakai juga menjerat berbagai jenis hewan liar, (kijang, kancil, babi hutan) atau hewan lainnya yang secara tidak sengaja terjerat. Mereka juga menangkap ikan dengan menggunakan cukah yang terbuat dari anyaman rotan. Selain itu, mereka juga menggunakan jaring untuk menangkap ikan kecil-kecil. Serta menggunakan serok untuk udang-udang yang berada dirawa-rawa. Kegiatan ini dilakukan ketika kegiatan diladang berkurang atau seusai menanam padi.Disamping itu mereka juga meramu atau mengumpulkan hasil hutan. Seperti dahan-dahan kering untuk kayu bakar, jamur setelah hujan turun, pucuk-pucuk daun untuk bumbu, damar, kemenyan, kapur barus dan karet.
E. Agama
Agama asli orang sakai
mungkin memang berdasarkan kepercayaan kepada berbagai makhluk halus, yang
disebut antu. Mereka meyakini bahwa tidak ada penggolongan antu, jadi baik
kemalangan, penyakit, keberuntungan atau juga kebahagiaan dapat disebabkan
karena jenis antu yang sama. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut pada
dasarnya sama, yaitu dengan dikir. Orang sakit diobati dengan dikir, begitu
juga orang yang sial. Prinsip dikir ini adalah berdamai dan menyenangkan hati
para antu. Caranya dengan memberikan segala kemewahan dan kenikmatan hidup yang
digambarkan secara simbolik dalam pentas tarian yang dilakukan oleh sidukun.
F. Kesenian dan Kerajinan.
Orang Sakai dikenal
sebagai pembuat benda-benda anyaman tikar dan rotan yang baik. Semua orang bisa
membuatnya. Karena kebanyakan peralatan mereka terbuat dari anyaman dan ikatan.
Mereka mengayam berbagai wadah dan tempat untuk membawa barang. Disamping itu
mereka juga ahli dalam membuat berbagai macam jenis mainan, yang merupakan
replika dari rumah, mobil, istana, kapal terbang dan sebagainya yang mereka
buat dari daun kapau. Kesenian yang biasanya mereka nikmati adalah dikir (yang
sebetulnya adalah upacara pengobatan).
KRITIKAN BUKU
Adapun kelebihan buku
Pada buku utama kalau dinilai dari segi sampul sangatlah bagus dan mencolok,
dengan desain yang sangat bagus untuk dipandang dari pada buku pembanding yang
sampulnya tidak terlalu menawan dari pada buku utama yang terlihat elegan dan
mewah serta enak dipandang. Pada bagian pembahasan isi pada
buku pertama penjelasan mengenai suku tersebut jelas dan menyeluruh sedangkan
pembahasan pada buku yang kedua penjelasannya tidak terlalu padat dan rumit . Dinilai dari segi sampul buku pembanding ini, cukup
menarik. Namun pemilihan judulnya masih terlalu umum, sehingga kurang menarik.
Dari segi bahasa telah menggunakan EYD yang baik dan benar. Serta disampaikan
dengan gaya bahasa yang sederhana/bahasa sehari-har sehingga lebih mudah untuk
dimengerti. Materi yang disampaikan pun diuraikan secara sistematis dan detail.
Kelebihan isi buku
utama daripada buku pembanding adalah isinya mencakup jelas tentang awal
perjalanan disertai dengan proses-prosesnya terjun kedalam suku pedalaman yang
membuat kejelasan ceritanya nampak.
Pada
bagian bahasa yang digunakan pada buku utama sangat jelas serta pengertian
kata-kata yang tidak dipahami diberi pengertiannya, dan terdapat kalimat inti
dari pembahasan perjalannya dengan tanda petik. Sedangkan kekurangannya dari
buku yang pertama adalah kalimat-kalimat yang ada didalam isi buku utama
terlalu bertele-tele dan sering terjadi pengulangan kata-kata pada isi buku
sehingga membuat pembaca sedikit bosan dengan isi buku tersebut. Kekurangan lain dari buku pembanding ialah
pemaparannya terlalu panjang sehingga membosankan pembaca untuk dibaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar