CRITICAL JOURNAL REVIEW
“INDUSTRIALISASI
DAN EKSISTENSI KOTA LANGSA
PADA ERA KOLONIAL, 1907-1942”
DI
SUSUN OLEH :
KELOMPOK
1
RATIH
ANDRIANI (3172121008)
ANAN
BAKRI UBIS (3172121001)
KELAS :
B REGULER
DOSEN
PENGAMPU : Dra. Flores Tanjung, M.A
MATA
KULIAH : KEPEMIMPINAN (SEMESTER I)
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2017
A. Identitas Jurnal
Judul :
Industralisasi dan Eksistensi Kota Langsa Pada Era
Kolonial, 1907-1942
Jurnal :
Historical Studies Journal
Download :
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita
Tahun :
2017
Penulis :
Ahmad Muhajir, Dewi Yuliati, dan Yety Rochwulaningsih
Reviewer :
Ratih Andriani dan Anan Bakri Lubis
ISSN :
0854-0039
E-ISSN :
2407-5825
Tanggal : 16 November 2017
BAB
I
PEMBAHASAN
A. Resume
Sajian Materi : INDUSTRIALISASI
DAN EKSISTENSI KOTA LANGSA PADA ERA KOLONIAL, 1907-1942
Akses-akses
Menuju Industrialisasi
Perairan
Teluk Langsa sejak lama menjadi sumber penghidupan masyarakat nelayan lokal dan
merupakan jalur perdagangan lada di kawasan Selat Malaka sejak abad ke-19. Di Kuala
Langsa itulah Belanda membangun Pelabuhan Langsa pada tahun 1906.
Ditinjau
dari akses demografi dan mata pencaharian, penduduk di Langsa merupakan yang
paling heterogen di seluruh Aceh, terutama sejak adanya gelombang migrasi besar
petani lada dari utara pada abad ke-19 dan industrialisasi pada awal abad
ke-20. Besarnya populasi penduduk di Onderafdeeling Langsa ternyata tidak bisa dimanfaatkan
dengan maksimal oleh Belanda untuk menyerap tenaga kerja di sektor industri.
Minimnya minat orang Aceh untuk bekerja di perusahaan perkebunan serta sikap
anti Belanda yang masih melekat mengakibatkan para investor mendatangkan orang Jawa
dengan jumlah yang sangat besar untuk menyiasati potensi demografi yang gagal dimanfaatkan.
Ditinjau
dari akses politik dan ekonomi, walaupun pada umumnya Perang Aceh resmi
berakhir pada tahun 1912, namun di wilayah Aceh Timur perang lebih cepat
berakhir ketika seluruh negeri Bumiputra di sana menyerah kepada Belanda pada
tahun 1877. Tanah-tanah diliberalisasi untuk disewakan kepada para investor
yang menandai dimulainya industrialisasi pertama di Aceh, yaitu di wilayah Aceh
Timur. Selain itu, pemerintah kolonial menjalankan Kebijakan Pasifikasi untuk
mengamankan mengamankan Aceh melalui berbagai cara, diantaranya melalui: (1)
penaklukan militer; (2) siasat politik dengan cara memelihara golongan ulèëbalang sebagai elite dan pejabat resmi
Bumiputra; (3) penciptaan situasi keamanan dan politik yang kondusifkoperatif; (4)
pembangunan prasarana penting seperti jaringan trem, pelabuhan dan jalan darat;
(5) perbaikan perekonomian yang hancur akibat perang; (6) perbaikan pendidikan
untuk rakyat; (7) melalui perbaikan kualitas kesehatan rakyat.
Sistem ekonomi
tradisional yang didominasi oleh aktivitas pertanian lada berorientasi ekspor
sejak satu abad sebelumnya hancur akibat perang dan telah digantikan oleh
sistem kapitalisme. Belanda juga melemahkan posisi ekonomi dan politik ulèëbalang melalui pembatasan wewenang
yang dahulu berada di dalam genggamannya. Dengan demikan, pemerintah kolonial
berhasil memindahkan hampir seluruh potensi ekonomi di Aceh Timur dari tangan ulèëbalang ke investor kapitalistik agar
lebih bebas membangun industrinya tanpa terhalang oleh pengaruh pucuk pimpinan
rakyat Bumiputra tersebut.
Industrialisasi
di Langsa
Industrialisasi
membutuhkan berbagai infrastruktur pendukung. Industri yang berbasis di
perkotaan (urban based industries) seperti
industri jasa transportasi, komunikasi dan jasa layanan umum (utilitas) merupakan penunjang aktivitas
industri yang berbasis di pedesaan (rural
based industries) seperti industri perkebunan karet dan pertambangan minyak
bumi. Di Langsa, industri yang berbasis di perkotaan lebih banyak dikuasai oleh
pemerintah kolonial, sedangkan industri yang berbasis di pedesaan terutama di sektor
hulu lebih banyak dikuasai oleh kapitalis swasta.
Pertama,
Urban Based Industries. Disektor industri jasa transportasi, jaringan Atjeh-tram
(Trem Aceh) dibangun sejak tahun 1874
sampai 1917 yang menghubungkan kota-kota di pantai timur mulai dari Kutaraja
sampai Kualasimpang. Trem Aceh merupakan infrastruktur pertama dan termahal
yang pernah dibangun oleh Belanda di Aceh. Berikutnya pembangunan jalur Langsa
– Pelabuhan Langsa dimulai pada bulan Januari tahun 1906 dan rampung pada bulan
Juni tahun 1906. Jalur tersebut mulai digunakan ketika Pelabuhan Langsa dibuka
pada tahun 1907. Jaringan trem berperan penting sebagai penghubung daerah perkebunan,
pusat kota dan pelabuhan.
Pelabuhan
Langsa dibangun oleh pemerintah kolonial pada bulan April tahun 1906 dan
rampung pada awal tahun 1907. Di samping itu, jaringan jalan darat yang
dibangun oleh pemerintah kolonial di Onderafdeeling Langsa hingga tahun 1927 telah
mencapai sepanjang ±90 km yang meliputi jalan lintas di kota (jalan primer) maupun
jalan perkebunan (jalan sekunder). Jaringan jalan berkembang seiring perkembangan
industri perkebunan di Langsa. Komoditas dari perkebunan diangkut melalui jaringan
jalan yang telah ada ke stasiun trem di pusat kota.
Di
sektor industri jasa komunikasi, kantor pos Langsa dibangun oleh pemerintah
kolonial pada tahun 1905 yang menyediakan layanan pos, telegraf dan
telepon kepada masyarakat umum.
Di
sektor jasa layanan umum, waterleiding dibangun oleh pemerintah kolonial di
suatu daerah di Langsa yang memiliki sumber mata air terbaik, yaitu Kemuning. Pembangunan
instalasi waterleiding dilakukan secara bertahap dan rampung pada tahun 1928.
Namun, pemerintah kolonial justru tidak terlibat dalam penyediaan layanan umum lainnya
seperti listrik dan gas terutama untuk penerangan kota. Perusahaan swasta NIGM
(Nederlandsch Indische Gas Maatschappij) diandalkan sebagai penyuplai utama
kebutuhan listrik dan gas untuk penduduk di Langsa.
Kedua,
Rural Based Industries. Industri perkebunan karet dimulai ketika pemerintah
kolonial mendirikan ‘Gouvernement Caoutchouc Onderneming’ (Perkebunan Karet
Negara) di Langsa pada tahun 1907. Tujuannya adalah sebagai badan usaha milik
negara dan perkebunan percontohan untuk menarik minat investor dari Sumatera
Timur. Selain itu, para investor telah percaya terhadap potensi tanah di Aceh
Timur yang diklaim oleh pemerintah sangat cocok untuk tanaman karet jenis Hevea
brasiliensis. Usaha perkebunan rakyat ini menjadi tren yang dikenal dengan istilah
Bevolkingsrubbercultuur (Budidaya Karet Rakyat). Perkebunan-perkebunan karet
swasta mulai dibuka di Langsa pada tahun 1909. Pada akhir tahun 1917, di Onderafdeeling
Langsa telah beroperasi sekitar 20 perusahaan swasta yang mengelola 28 onderneming.
Pada tahun 1919, jumlahnya bertambah menjadi 44 onderneming dengan total luas
penanaman 15.083 ha.
Sebagian
besar perusahaan perkebunan karet di Langsa tergabung dalam keanggotaan AVROS
(Algemeene Vereeniging van Rubberplanter ter Oostkust van Sumatra) atau
Asosiasi Pekebun Karet di Pantai Timur Sumatera.
Produk
yang dihasilkan dari industri perkebunan karet di Langsa selama era kolonial
berupa produk karet setengah jadi dalam bentuk latex rubber sheet (lembaran-lembaran lateks) sebagai produk
premium, lump rubber (karet
gumpalan), scraps rubber (karet
potongan) dan produk kualitas terendah seperti bark rubber (kulit karet). Semua produk tersebut dikirim ke
pusat-pusat industri pengolahan karet di Eropa melalui Pelabuhan Langsa via
Pulau Pinang dan Singapura.
Keberadaan
industri pertambangan minyak bumi di Onderafdeeling
Langsa sangat penting bagi pembangunan perekonomian. Produktivitas
meningkat selama dasawarsa pertama dan kedua. Walaupun terjadi penurunan yang
cukup mengkhawatirkan pada periode Perang Dunia I dan menjelang Maleise, namun produktivitas
meningkat kembali selama dasawarsa ketiga. Perusahaan terbesar kala itu, BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) telah
mengeksploitasi empat sumur minyak hingga tahun 1927.
Dari kemajuan yang
dicapai industri di sektor ini, sejumlah pihak memperoleh keuntungan, mulai
dari pengusaha swasta, pemerintah hingga kepala negeri Bumiputra.
Perkembangan Kota
Kolonial Langsa
Perkembangan
kota kolonial Langsa dapat dilihat dari tiga aspek:
Pertama,
perkembangan ruang perkotaan. Nama Langsa Tunong digunakan oleh pemerintah
kolonial untuk menyebut daerah inti kota yang baru dibangun, sedangkan Negeri
Langsa yang asli berada di daerah kini yang disebut Langsa Lama. Letak antara
keduanya tidak begitu jauh. Perencanaan pembangunan kota secara komprehensif
dimulai pada tahun 1905 oleh Korps Zeni. Begitu pula sejak tahun 1908, Langsa
Tunong ditetapkan sebagai ibukota Afdeeling
Aceh Timur dan Onderafdeeling Langsa
dengan sejumlah bangunan dan fasilitas umum yang melengkapinya. Perkembangan
ruang kota didukung oleh beberapa infrastruktur yang dibangun kala itu,
terutama jaringan trem, pelabuhan laut dan jalan darat. Perkembangan ruang kota
dan pembangunan infrastruktur tersebut juga sangat dipengaruhi oleh kepentingan
industri perkebunan dan pertambangan.
Kedua,
ruang aktivitas ekonomi. Aktivitas perniagaan yang paling utama berada di pasar
dan pertokoan atau kawasan Pecinan. Pertokoan di sana memang didominasi oleh
orang Cina. Hanya sejumlah kecil orang Tamil, Aceh dan Minang yang memiliki
ruko di sana.
Ketiga,
perkembangan ruang aktivitas sosial dan budaya. Pada umumnya pola pemukiman di kota-kota
kolonial di Hindia Belanda berdasarkan klasifikasi tripartit. Orang Eropa banyak
yang menetap di tengah kota. Sisi barat kota paling ramai dihuni oleh
keluarga-keluarga bangsa Eropa. Sementara itu, minoritas orang Timur Asing lainnya
adalah orang India (Tamil) yang juga bermukim di Pecinan. Sementara itu,
pemukiman penduduk Bumiputra di kota berada di Kampung Melayu, nama yang
mewakili ras Bumiputra, bukan hanya etnik.
Pemerintah
kolonial di Langsa belum memiliki rumah sakit sendiri. Centraal Planters
Hospitaal (Rumah Sakit Pusat Perkebunan) yang didirikan oleh tiga perusahaan perkebunan
swasta pada tahun 1912 dikontrak oleh pemerintah kolonial untuk melayani
penduduk sipil di kota.
Pada
tahun 1917, sekolah yang telah berdiri di Langsa Tunong yaitu HIS, ELS, Meisjeschool
(Sekolah Kepandaian Putri) dan sekolah partikelir Cina, sedangkan sekolah
lainnya menyusul setelahnya.
Pada
tahun 1931, bertambah dua sekolah Volkschoolen dan dua sekolah partikelir Cina.
Ondernemingschoolen bertambah satu sekolah yaitu milik perusahaan VICO di
Langsa.
Pada
tahun 1934, di Peureulak bertambah satu Vervolgschool (Sekolah Lanjutan dari
Volkschool). Sementara itu, berdiri pula tiga sekolah partikelir agama di
Langsa, yaitu: Woestha School milik Mohammadijah; Siradjdjoedin School milik
Vereeniging Siradjdjoedin; dan Madrasahtoel Islamiah Waladabiah.
Sekolah
partikelir lainnya yaitu: Poesaka School (Rauf Instituute) di Peureulak dan
Persatoen Goeroe Indonesia School di Langsa. Langsa pun menjadi daerah tujuan
utama bagi penduduk Aceh Timur untuk mengakses pendidikan.
Secara kultural,
orang Eropa memiliki tradisi dansa sebagai kegiatan harian, baik dalam acara
pesta maupun makan malam. Di kota terdapat klub dansa orang Eropa bernama
‘Langsa Dansclub’. Selain itu ada ‘Tennisclub’, yaitu klub tenis orang Eropa tepat
di tengah kota.
B. Kritik
·
Kelebihan
Sistematika gaya
penulisannya cukup tersusun dengan baik dan jelas mulai
dari
judul penelitian, nama penulis, abstrak, pendahuluan, metode penelitian,
pembahasan, dan juga kesimpulan. judul dari penelitian tersebut juga jelas dan
akurat, isi dalam jurnal ini juga sesuai judul. Abstrak dari jurnal ini juga
memberikan gambaran yang jelas dan juga masalah dari penelitian. Tujuan dari
penelitian di dalam jurnal ini juga tepat sasaran. Di dalam jurnal ini juga di
masukkan gambar-gambar suasana langsa pada waktu itu. Daftar pustaka dalam
jurnal ini juga sangat akurat karena banyak di ambil dari buku-buku yang
terkait dengan jurnal tersebut.
·
Kelemahan
Bahasa
pada jurnal ini memang mudah dipahami tetapi ada di sebutkan beberapa istilah
dalam jurnal ini yang tidak dijelaskan tentang istilah tersebut sehingga
menyulitkan pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar