Rabu, 04 April 2018

CRITICAL JOURNAL REVIEW MATA KULIAH KEPEMIMPINAN: “INDUSTRIALISASI DAN EKSISTENSI KOTA LANGSA PADA ERA KOLONIAL, 1907-1942”



CRITICAL JOURNAL REVIEW
INDUSTRIALISASI DAN EKSISTENSI KOTA LANGSA
 PADA ERA KOLONIAL, 1907-1942




DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

RATIH ANDRIANI                                       (3172121008)
ANAN BAKRI UBIS                                    (3172121001)

KELAS : B REGULER
DOSEN PENGAMPU : Dra. Flores Tanjung, M.A
MATA KULIAH : KEPEMIMPINAN (SEMESTER I)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2017










A.      Identitas Jurnal
Judul                           : Industralisasi dan Eksistensi Kota Langsa Pada Era
Kolonial, 1907-1942
Jurnal                           : Historical Studies Journal
Download                   : https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita
Tahun                          : 2017
Penulis                         : Ahmad Muhajir, Dewi Yuliati, dan Yety Rochwulaningsih
Reviewer                     : Ratih Andriani dan Anan Bakri Lubis
ISSN                           : 0854-0039
E-ISSN                       : 2407-5825
Tanggal                       : 16 November 2017





BAB I
PEMBAHASAN
A.      Resume
Sajian Materi : INDUSTRIALISASI DAN EKSISTENSI KOTA LANGSA PADA ERA KOLONIAL, 1907-1942

Akses-akses Menuju Industrialisasi
Perairan Teluk Langsa sejak lama menjadi sumber penghidupan masyarakat nelayan lokal dan merupakan jalur perdagangan lada di kawasan Selat Malaka sejak abad ke-19. Di Kuala Langsa itulah Belanda membangun Pelabuhan Langsa pada tahun 1906.
Ditinjau dari akses demografi dan mata pencaharian, penduduk di Langsa merupakan yang paling heterogen di seluruh Aceh, terutama sejak adanya gelombang migrasi besar petani lada dari utara pada abad ke-19 dan industrialisasi pada awal abad ke-20. Besarnya populasi penduduk di Onderafdeeling Langsa ternyata tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal oleh Belanda untuk menyerap tenaga kerja di sektor industri. Minimnya minat orang Aceh untuk bekerja di perusahaan perkebunan serta sikap anti Belanda yang masih melekat mengakibatkan para investor mendatangkan orang Jawa dengan jumlah yang sangat besar untuk menyiasati potensi demografi yang gagal dimanfaatkan.
Ditinjau dari akses politik dan ekonomi, walaupun pada umumnya Perang Aceh resmi berakhir pada tahun 1912, namun di wilayah Aceh Timur perang lebih cepat berakhir ketika seluruh negeri Bumiputra di sana menyerah kepada Belanda pada tahun 1877. Tanah-tanah diliberalisasi untuk disewakan kepada para investor yang menandai dimulainya industrialisasi pertama di Aceh, yaitu di wilayah Aceh Timur. Selain itu, pemerintah kolonial menjalankan Kebijakan Pasifikasi untuk mengamankan mengamankan Aceh melalui berbagai cara, diantaranya melalui: (1) penaklukan militer; (2) siasat politik dengan cara memelihara golongan ulèëbalang sebagai elite dan pejabat resmi Bumiputra; (3) penciptaan situasi keamanan dan politik yang kondusifkoperatif; (4) pembangunan prasarana penting seperti jaringan trem, pelabuhan dan jalan darat; (5) perbaikan perekonomian yang hancur akibat perang; (6) perbaikan pendidikan untuk rakyat; (7) melalui perbaikan kualitas kesehatan rakyat.
Sistem ekonomi tradisional yang didominasi oleh aktivitas pertanian lada berorientasi ekspor sejak satu abad sebelumnya hancur akibat perang dan telah digantikan oleh sistem kapitalisme. Belanda juga melemahkan posisi ekonomi dan politik ulèëbalang melalui pembatasan wewenang yang dahulu berada di dalam genggamannya. Dengan demikan, pemerintah kolonial berhasil memindahkan hampir seluruh potensi ekonomi di Aceh Timur dari tangan ulèëbalang ke investor kapitalistik agar lebih bebas membangun industrinya tanpa terhalang oleh pengaruh pucuk pimpinan rakyat Bumiputra tersebut.
Industrialisasi di Langsa
Industrialisasi membutuhkan berbagai infrastruktur pendukung. Industri yang berbasis di perkotaan (urban based industries) seperti industri jasa transportasi, komunikasi dan jasa layanan umum (utilitas) merupakan penunjang aktivitas industri yang berbasis di pedesaan (rural based industries) seperti industri perkebunan karet dan pertambangan minyak bumi. Di Langsa, industri yang berbasis di perkotaan lebih banyak dikuasai oleh pemerintah kolonial, sedangkan industri yang berbasis di pedesaan terutama di sektor hulu lebih banyak dikuasai oleh kapitalis swasta.
Pertama, Urban Based Industries. Disektor industri jasa transportasi, jaringan Atjeh-tram (Trem Aceh) dibangun sejak tahun 1874 sampai 1917 yang menghubungkan kota-kota di pantai timur mulai dari Kutaraja sampai Kualasimpang. Trem Aceh merupakan infrastruktur pertama dan termahal yang pernah dibangun oleh Belanda di Aceh. Berikutnya pembangunan jalur Langsa – Pelabuhan Langsa dimulai pada bulan Januari tahun 1906 dan rampung pada bulan Juni tahun 1906. Jalur tersebut mulai digunakan ketika Pelabuhan Langsa dibuka pada tahun 1907. Jaringan trem berperan penting sebagai penghubung daerah perkebunan, pusat kota dan pelabuhan.
Pelabuhan Langsa dibangun oleh pemerintah kolonial pada bulan April tahun 1906 dan rampung pada awal tahun 1907. Di samping itu, jaringan jalan darat yang dibangun oleh pemerintah kolonial di Onderafdeeling Langsa hingga tahun 1927 telah mencapai sepanjang ±90 km yang meliputi jalan lintas di kota (jalan primer) maupun jalan perkebunan (jalan sekunder). Jaringan jalan berkembang seiring perkembangan industri perkebunan di Langsa. Komoditas dari perkebunan diangkut melalui jaringan jalan yang telah ada ke stasiun trem di pusat kota.
Di sektor industri jasa komunikasi, kantor pos Langsa dibangun oleh pemerintah kolonial pada tahun 1905 yang menyediakan layanan pos, telegraf dan
telepon kepada masyarakat umum.
Di sektor jasa layanan umum, waterleiding dibangun oleh pemerintah kolonial di suatu daerah di Langsa yang memiliki sumber mata air terbaik, yaitu Kemuning. Pembangunan instalasi waterleiding dilakukan secara bertahap dan rampung pada tahun 1928. Namun, pemerintah kolonial justru tidak terlibat dalam penyediaan layanan umum lainnya seperti listrik dan gas terutama untuk penerangan kota. Perusahaan swasta NIGM (Nederlandsch Indische Gas Maatschappij) diandalkan sebagai penyuplai utama kebutuhan listrik dan gas untuk penduduk di Langsa.
Kedua, Rural Based Industries. Industri perkebunan karet dimulai ketika pemerintah kolonial mendirikan ‘Gouvernement Caoutchouc Onderneming’ (Perkebunan Karet Negara) di Langsa pada tahun 1907. Tujuannya adalah sebagai badan usaha milik negara dan perkebunan percontohan untuk menarik minat investor dari Sumatera Timur. Selain itu, para investor telah percaya terhadap potensi tanah di Aceh Timur yang diklaim oleh pemerintah sangat cocok untuk tanaman karet jenis Hevea brasiliensis. Usaha perkebunan rakyat ini menjadi tren yang dikenal dengan istilah Bevolkingsrubbercultuur (Budidaya Karet Rakyat). Perkebunan-perkebunan karet swasta mulai dibuka di Langsa pada tahun 1909. Pada akhir tahun 1917, di Onderafdeeling Langsa telah beroperasi sekitar 20 perusahaan swasta yang mengelola 28 onderneming. Pada tahun 1919, jumlahnya bertambah menjadi 44 onderneming dengan total luas penanaman 15.083 ha.
Sebagian besar perusahaan perkebunan karet di Langsa tergabung dalam keanggotaan AVROS (Algemeene Vereeniging van Rubberplanter ter Oostkust van Sumatra) atau Asosiasi Pekebun Karet di Pantai Timur Sumatera.
Produk yang dihasilkan dari industri perkebunan karet di Langsa selama era kolonial berupa produk karet setengah jadi dalam bentuk latex rubber sheet (lembaran-lembaran lateks) sebagai produk premium, lump rubber (karet gumpalan), scraps rubber (karet potongan) dan produk kualitas terendah seperti bark rubber (kulit karet). Semua produk tersebut dikirim ke pusat-pusat industri pengolahan karet di Eropa melalui Pelabuhan Langsa via Pulau Pinang dan Singapura.
Keberadaan industri pertambangan minyak bumi di Onderafdeeling Langsa sangat penting bagi pembangunan perekonomian. Produktivitas meningkat selama dasawarsa pertama dan kedua. Walaupun terjadi penurunan yang cukup mengkhawatirkan pada periode Perang Dunia I dan menjelang Maleise, namun produktivitas meningkat kembali selama dasawarsa ketiga. Perusahaan terbesar kala itu, BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) telah mengeksploitasi empat sumur minyak hingga tahun 1927.
Dari kemajuan yang dicapai industri di sektor ini, sejumlah pihak memperoleh keuntungan, mulai dari pengusaha swasta, pemerintah hingga kepala negeri Bumiputra.
Perkembangan Kota Kolonial Langsa
Perkembangan kota kolonial Langsa dapat dilihat dari tiga aspek:
Pertama, perkembangan ruang perkotaan. Nama Langsa Tunong digunakan oleh pemerintah kolonial untuk menyebut daerah inti kota yang baru dibangun, sedangkan Negeri Langsa yang asli berada di daerah kini yang disebut Langsa Lama. Letak antara keduanya tidak begitu jauh. Perencanaan pembangunan kota secara komprehensif dimulai pada tahun 1905 oleh Korps Zeni. Begitu pula sejak tahun 1908, Langsa Tunong ditetapkan sebagai ibukota Afdeeling Aceh Timur dan Onderafdeeling Langsa dengan sejumlah bangunan dan fasilitas umum yang melengkapinya. Perkembangan ruang kota didukung oleh beberapa infrastruktur yang dibangun kala itu, terutama jaringan trem, pelabuhan laut dan jalan darat. Perkembangan ruang kota dan pembangunan infrastruktur tersebut juga sangat dipengaruhi oleh kepentingan industri perkebunan dan pertambangan.
Kedua, ruang aktivitas ekonomi. Aktivitas perniagaan yang paling utama berada di pasar dan pertokoan atau kawasan Pecinan. Pertokoan di sana memang didominasi oleh orang Cina. Hanya sejumlah kecil orang Tamil, Aceh dan Minang yang memiliki ruko di sana.
Ketiga, perkembangan ruang aktivitas sosial dan budaya. Pada umumnya pola pemukiman di kota-kota kolonial di Hindia Belanda berdasarkan klasifikasi tripartit. Orang Eropa banyak yang menetap di tengah kota. Sisi barat kota paling ramai dihuni oleh keluarga-keluarga bangsa Eropa. Sementara itu, minoritas orang Timur Asing lainnya adalah orang India (Tamil) yang juga bermukim di Pecinan. Sementara itu, pemukiman penduduk Bumiputra di kota berada di Kampung Melayu, nama yang mewakili ras Bumiputra, bukan hanya etnik.
Pemerintah kolonial di Langsa belum memiliki rumah sakit sendiri. Centraal Planters Hospitaal (Rumah Sakit Pusat Perkebunan) yang didirikan oleh tiga perusahaan perkebunan swasta pada tahun 1912 dikontrak oleh pemerintah kolonial untuk melayani penduduk sipil di kota.
Pada tahun 1917, sekolah yang telah berdiri di Langsa Tunong yaitu HIS, ELS, Meisjeschool (Sekolah Kepandaian Putri) dan sekolah partikelir Cina, sedangkan sekolah lainnya menyusul setelahnya.
Pada tahun 1931, bertambah dua sekolah Volkschoolen dan dua sekolah partikelir Cina. Ondernemingschoolen bertambah satu sekolah yaitu milik perusahaan VICO di Langsa.
Pada tahun 1934, di Peureulak bertambah satu Vervolgschool (Sekolah Lanjutan dari Volkschool). Sementara itu, berdiri pula tiga sekolah partikelir agama di Langsa, yaitu: Woestha School milik Mohammadijah; Siradjdjoedin School milik Vereeniging Siradjdjoedin; dan Madrasahtoel Islamiah Waladabiah.
Sekolah partikelir lainnya yaitu: Poesaka School (Rauf Instituute) di Peureulak dan Persatoen Goeroe Indonesia School di Langsa. Langsa pun menjadi daerah tujuan utama bagi penduduk Aceh Timur untuk mengakses pendidikan.
Secara kultural, orang Eropa memiliki tradisi dansa sebagai kegiatan harian, baik dalam acara pesta maupun makan malam. Di kota terdapat klub dansa orang Eropa bernama ‘Langsa Dansclub’. Selain itu ada ‘Tennisclub’, yaitu klub tenis orang Eropa tepat di tengah kota.
B.      Kritik
·                Kelebihan
Sistematika gaya penulisannya cukup tersusun dengan baik dan jelas mulai
dari judul penelitian, nama penulis, abstrak, pendahuluan, metode penelitian, pembahasan, dan juga kesimpulan. judul dari penelitian tersebut juga jelas dan akurat, isi dalam jurnal ini juga sesuai judul. Abstrak dari jurnal ini juga memberikan gambaran yang jelas dan juga masalah dari penelitian. Tujuan dari penelitian di dalam jurnal ini juga tepat sasaran. Di dalam jurnal ini juga di masukkan gambar-gambar suasana langsa pada waktu itu. Daftar pustaka dalam jurnal ini juga sangat akurat karena banyak di ambil dari buku-buku yang terkait dengan jurnal tersebut.
·                Kelemahan
Bahasa pada jurnal ini memang mudah dipahami tetapi ada di sebutkan beberapa istilah dalam jurnal ini yang tidak dijelaskan tentang istilah tersebut sehingga menyulitkan pembaca. 

Tidak ada komentar: